Chapter 5

3 2 0
                                    

"Dek, hari ini temani Bunda di toko ya, ada Azfer dan Tante Wina," ucapku saat kami sudah berada di dalam mobil menuju toko.

"Mau, Bunda, Arya mau temenin Bunda apalagi ada Azfer," ucapnya antusias. Kuacak rambutnya seraya berkata," ok, tuan kecil tapi, sebelumnya kita makan siang dulu ya, kamu sudah lapar 'kan?" usulku.

"Oke, Bun," jawabnya singkat karena sedang sibuk dengan gadget nya. Aku memberi kelongaran menggunakan gadget pada saat Weekend saja kebetulan hari ini adalah hari Jum'at maka kuberikan kemewahan itu kepadanya.

"Dek, ada yang mau Bunda bicarakan sedikit serius sama Adek," Ucapku perlahan. Dia menghentikan permainan di ponselnya dan menoleh kepadaku.

"Iya, Bunda mau ngomongin apa?" tanyanya. "Dedek, masih inget sama tante Mila adik papa Banyu? Dulu, waktu Dedek masih kecil Tante Mila sering datang ke rumah kita," Jelasku mengingatkannya tentang Mila. Kulihat dia seperti berpikir mengingat terlihat dari raut wajahnya, wajar jika dia berusaha menginggat karena waktu kami berpisah usia Arya masih tiga tahun.

"Dedek, lupa, Bun." Akhirnya dia menyerah.

"Ya, sudah nggak apa apa nanti kita makan siangnya bareng Tante Mila." Kuberitahukan kepadanya supaya dia tidak bingung saat nanti Mila datang.

"Ok, Bunda," jawabnya sambil sibuk kembali dengan ponselnya.

*****

Kami sedang menunggu pesanan makanan, saat Mila datang menghampiri kami. "Mbak Sofia," Panggilnya. Aku pun menoleh.

"Hai, Mila, ayo duduk sini," ajakku. Kulihat Mila melihat ke arah bangku di depanku, kemudian menatapku. Kumengangguk sambil tersenyum. "Iya, Mila, itu Arya," ucapku.

Dia langsung menghampiri dan duduk di sebelah Arya, ada hasrat ingin memeluk Arya, namun, ditahannya. "Arya, ayo beri salam ke Tante Mila," perintahku kepadanya. Arya menyodorkan tangannya untuk memberi salam. Saat Mila, memberikan tangannya Arya pun mencium punggung tangan Mila. "Assalamualaikum, Tante Mila," ucapnya memberi salam. Mila tak kuasa menahan diri. Di peluknya Arya dengan erat. "Waalaikumsalam, Sayang. Kamu sudah besar, Nak." Ada nada kerinduan di sana. Arya menatapku dengan bingung. Aku hanya mengangguk dan memberikan isyarat supaya dia menerima pelukan Mila.

Momen pelukan Mila terputus saat waitres membawakan makanan pesanan kami di meja. Mila, akhirnya melepaskan pelukannya sempat kulihat jarinya menghapus setitik airmata di sudut matanya. Mila kemudian memesan makanannya. Tak henti-henti dia menciumi puncak kepala Arya dan memeluknya. Aku tersenyum geli melihat Arya terlihat risih sampai akhirnya Arya berkata," Tante, maaf Arya mau makan dulu, kalau Tante peluk Arya terus kapan habis makanannya." Mila tersipu malu. "Iya, Sayang. Maaf ya, Tante kangen sekali sama Arya."

Selesai makan, aku mengajak Mila ke toko untuk bertemu dengan Wina dan menitipkan Arya sebentar karena ada yang akan aku bicarakan dengannya. Kuajak Mila ke kantin yang terletak tak jauh dari toko. Kumulai membuka percakapan."Mila, kamu boleh bertemu dengan Arya kapan pun kamu mau atas seizin Mbak. Namun, satu yang perlu kamu ingat jangan ajak atau kasih tau Mas Banyu dulu untuk bertemu dengan Arya sesuai dengan permintaan Mbak, kemarin. Mbak, sedang berusaha memberi penjelasan dan pengertian pelan-pelan kepada Arya, mengenai papanya." Ucapku memberikan ketegasan kepadanya.

"Iya, Mbak, Mila janji nggak akan kasih tau dulu sama Mas Banyu, tapi Mila, harap Mbak jangan terlalu lama menyiksa Mas Banyu dengan rasa rindu nya kepada Arya," pintanya kepadaku.

"In Syaa Allah, Mila, Mbak, melalukan yang terbaik buat Arya supaya dia bisa menerima papanya dengan baik," janjiku. "Jadi, Mbak, mohon kamu ikut membantu dalam prosesnya ya." Lanjutku lagi,

Mila pun pamit setelah mengobrol sebentar dengan Wina dan kembali memeluk Arya dengan erat seakan enggan berpisah.

*****

Malam ini, sebelum membacakan dongeng sebelum tidur kepada Arya, kuputuskan untuk berbicara dari hati ke hati mengenai Mas Banyu. Aku tidak terlalu berharap banyak Arya akan memahaminya. Namun, aku akan berusaha mencoba memberi pengertian kepadanya mengenai papanya karena bagaimanapun Mas Banyu sebenarnya adalah sosok suami dan ayah yang baik.

"Arya, Sayang." Panggilku pelan. Sengaja kupangil dia dengan namanya menandakan bahwa apa yang akan aku bicarakan dengan nya adalah sesuatu yang serius.

"Ya, Bunda." Dia menghentikan kegiatan memilih buku yang biasanya akan kubacakan menjelang tidur.

"Duduk sini, Nak." Kutepuk-tepuk kasur mengisyaratkan untuk dia duduk di depanku. Arya menghampiri dan duduk tepat di depanku, sedangkan aku duduk di bangku meja belajarnya.

"Arya, Sayang. Bunda mau bicara serius dan Bunda, harap Arya mengerti apa yang akan Bunda sampaikan ke Arya, ya karena Bunda tau Arya sudah besar," ucapku tersenyum sambil mengusap pipinya.

"In Syaa Allah, Arya, siap mendengarkan apa yang Bunda katakan," ucapnya mantap. Aku mengangguk dengan mengucap Basmallah.

"Bismillah ..., Arya masih inget dengan papa Banyu?" Tanyaku. Kulihat dia diam sebentar seperti mengingat kemudian dengan cepat dia mengangguk.

"Arya, sayang sama papa Banyu?" lanjutku lagi masih dengan pertanyaan kepadanya. Dia pun mengangguk kembali.

"Arya, sayang sama papa Banyu, Bun. Papa baik, Arya kangen sama papa," ucapnya lirih.

Deg, jantungku serasa berhenti mendengar ucapannya. Aku baru tahu kalau Arya merindukan papanya. Ya Allah, betapa egoisnya aku selama ini.

"Kalau, papa Banyu, mau ketemu sama Arya? Arya mau?" tanyaku lagi dengan suara bergetar. Seketika kulihat binar di matanya dan senyum mengembang di wajahnya.

"Arya, mau Bun, kapan Arya, ketemu papa Banyu?" Tanyanya antusias tanpa sadar dia menggenggam tanganku.

Kuraih kepalanya sambil kupeluk tubuh mungilnya. "In Syaa Allah, secepatnya maafkan Bunda, ya sayang, karena kamu harus menunggu lama untuk bertemu dengan papamu." Kukecup puncak kepalanya tanpa terasa butiran bening pun luruh dari sudut mataku. "Ya Allah, betapa berdosanya aku membuat ayah dan anak saling tersiksa menahan rindu untuk bertemu, maafkan aku Ya Allah," batinku.

Kuseka airmata dengan punggung tanganku sebelum melepaskan pelukan kepada Arya. Ah ... binar mata itu begitu terang terlihat. Kutersenyum dan berkata,"Bunda, usahakan secepatnya ya, Arya, bisa bertemu papa." Kuelus rambutnya. Tiba-tiba, dia memelukku. "Terimakasih, Bunda, aku nggak sabar ketemu papa," ujarnya senang. Kutepuk-tepuk pundaknya dan melepaskan pelukannya.

"Ya sudah, sekarang Arya, bobo dulu ya udah malam. Bunda, juga mau bobo," tukasku.

"Iya, Bunda, Arya, mau bobo biar bisa cepet ketemu papa," cetusnya dengan senyum manisnya.

Kumengangguk dan mengecup kedua pipinya. "Ayo, jangan lupa berdoa dulu sebelum bobo," ujarku mengingatkannya. Setelah ritual mau tidur selesai. Aku pun beranjak meninggalkan kamar Arya menuju kamarku.

Di dalam kamar, kupandangi dan mengusap foto Mas Banyu. "Mas, maafkan aku yang egois, ternyata Arya pun merindukanmu dan begitu semangat untuk bertemu denganmu. Tapi, aku sendiri sepertinya belum sesiap Arya untuk bertemu denganmu," bisikku pelan. Perlahan kurebahkan tubuh ini ke ranjang berusaha berdamai dengan hati untuk bisa siap bertemu dengan Mas Banyu. "Bismillah, ya Allah, bantu hamba untuk kuat menghadapi semua ini." Doaku dalam diam.

🌸🌸🌸🌸🌸

Jangan lupa vote dan tinggalin jejak di komen, saran dan kritik ya. Terima kasih.

SOFIA (Rahasia di balik perpisahan) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang