Chapter 19

3 1 0
                                    

Sore itu kududuk di sofa teras samping mendengarkan suara gemericik hujan yang turun melalui atap canopy menambah haru biru hatiku yang diliputi pertanyaan yang selalu berulang di kepalaku. Kenapa Mas Banyu masih tetap bergeming tidak mau memberitahukan apa yang sedang dialaminya saat ini, walaupun aku sudah mengetahui dari Mila, tapi aku ingin mendengar langsung darinya. Aku ingin dia berkata jujur.

Arrgg ... Mas Banyu sikapmu itu membuatku frustasi. Bagaimana aku bisa membantumu sedangkan dirimu tidak mau membuka diri. Kepalaku sakit memikirkannya.

Kusesap secangkir teh chamomille favoritku yang berfungsi sebagai penenang diri. Lamunanku buyar, saat sebuah tangan munggil mengelus pipiku.

"Bun, Bunda." Kudengar suara Arya begitu dekat dengan telinggaku.

Kucari ke arah asal suaranya. Melihat wajah mungilnya dengan senyum menawan membuatku langsung memeluk dan menciumi pipinya. "Duh, jagoan kecil Bunda, bikin kaget Bunda saja." Dia tergelak geli sambil menjauhkan wajahnya dariku,

"Udah Bunda, ciumin pipi Arya, aku sudah besar sekarang Bunda," protesnya. Aku tertawa geli mendengar protesnya dan dia berkelit berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Semakin dia berkelit semakin kencang kumemeluknya.

Sampai pada akhirnya aku menyerah dengan kekuatan tenaganya dia bisa melepaskan diri dari pelukanku. Kami pun tertawa bersama menertawakan kelakuan kami tadi.

Masih terengah karena banyak tenaga yang sudah dikeluarkannya untuk melepaskan diri dari pelukanku. Arya beranjak dari kursinya sambil berkata," Bun, aku mau ambil air minum, di kulkas. Bunda, ada yang mau Arya, ambilkan dari kulkas atau mau brownies di atas meja makan?" Tanyanya kepadaku.

Kumengeleng,"Nggak usah. Sayang, nanti kalau Bunda mau akan ambil sendiri. Makasih ya."

Nggak berapa lama dia kembali duduk di sebelahku sambil memegang segelas air dingin. '

"Duh, ini anak hujan-hujan masih aja minumnya air dingin,' batinku

Kami berdua larut dengan suara gemericik hujan dan udara sejuk.

"Bun," panggil Arya

"Ya, sayang," balasku

"Bunda, sudah tanya ke papa Banyu, kapan mau ketemu? Arya, kangen sama papa, Bun," cetusnya tiba-tiba

Refleks kumenoleh ke arahnya. Jujur, aku belum siap mau bilang apa kepadanya. Karena aku pun tidak tahu kemana Mas Banyu pergi dan kenapa dia tiba-tiba pergi begitu saja tanpa bisa dihubungi begitupun dengan Mila yang menghilang begitu saja.

"Bun, kok malah bengong," ucapnya sambil mengoyang-goyangkan lenganku.

Sambil tersenyum kutatap manik hitam matanya yang penuh pengharapan kepadaku. Harapan akan menerima jawabannya yang menyenangkan.

Kuhirup aroma tanah yang menguar terkena air hujan perlahan sambil berpikir cepat jawaban apa yang harus kuberikan kepada Arya.

"Arya, Sayang. Bunda, minta maaf ya. Karena Bunda, belum bisa menghubungi papa. Mungkin, papa sibuk. Tapi, Bunda, yakin pasti papa juga kangen sama Arya, doakan saja semoga papa bisa cepat bertemu dengan Arya." Ucapku lembut.

"Bunda, nggak tanya sama tante Mila, kenapa papa nggak bisa dihubungi ?" cecarnya tidak puas atas jawabanku.

Kuraih kepalanya seraya menyandarkan di dada. Sambil memeluk tubunhnya kuberkata," Arya, percaya sama Bunda?" kurasakan anggukan di dadaku.

"Kalau Arya, percaya sama Bunda, Arya harus yakin kalau Bunda akan berusaha keras supaya Arya bisa main dan ketemu papa," ucapku meyakinkannya padahal aku sendiri sangsi mendapatkan informasi dari mana lagi untuk mengetahui keberadaan Mas Banyu.

*****

Karena terburu-buru kembali ke toko, aku menabrak seseorang saat berbalik dari membayar barang belajaanku. "Maaf, ya Pak," ucapku sambil menunduk membereskan barang belanjaanku yang berjatuhan.

"Sofia." Kumendongak mencari asal suara tersebut.

"Wira?" ujarku setelah kulihat laki-laki yang memanggilku.

Setelah membereskan barang belanjaan yang berjatuhan tadi, kami pun berjalan bersama menuju area parkir. Wira mengikuti sampai di depan mobilku.

"Sofia, jika kamu tidak keberatan aku akan mengajakmu sekedar makan malam hari ini? Tanyanya "Atau kau yang menentukan kapan kau bisa makan malam bersamaku?" Ucapnya lagi saat dilihatnya aku mengerutkan keningku.

"Mmm ... Wira, aku nggak bisa janji bisa nya kapan. Bagaimana jika aku hubungi kamu ya saat aku bisa makan malam denganmu, tolong tuliskan nomer teleponmu di ponselku." Ku angsurkan ponselku untuk dia menuliskan nomer teleponnya di dalamnya. Dia menerima ponselku dan mengetikkan nomer dan namanya di ponselku.

Kuterima kembali ponselku saat dia mengembalikannya. "Oke, Wira, aku duluannya," pamitku.

"Baiklah Fia, jangan lupa hubungi aku ya," ujarnya sambil melambaikan tanganya kearahku seiring berjalannya mobilku. Kulirik dari kaca spion dia masih mematung memandangi kepergianku.

Sambil menyetir, anganku melayang ke masa putih abu-abu. Masih teringat hari-hari indah yang kujalani bersama Wira. Ya, Wira adalah pacarku saat sekolah dulu. Hanya satu tahun kami merajut kasih, jalinan cinta kami mulus semulus jalan tol.

Namun, aku masih belum berani mengenalkan Wira ke keluargaku, rencanaku akan mengenalkannya pada saat lulus sekolah saja takutnya hubungan kami di larang oleh orangtuaku karena sebentar lagi aku ujian kelulusan takut menganggu konsentrasi sehingga aku dan wira sepakat nanti saja diperkenalkan kepada orangtua masing-masing.

Wira sendiri adalah sosok laki-laki yang sangat perhatian kadang terlalu over protecting padaku, terkadang aku dibuatnya sebal karena merasa di awasi setiap saat namun, itu semua terimbangi dengan rasa sayangnya padaku. Kami jarang bertengkar dan berjanji untuk melanjutkan kuliah di tempat yang sama walaupun berbeda fakultas.

Namun, angan tinggal angan selepas masa SMA dia tiba-tiba menghilang. Saat itu ponsel masih menjadi barang langka hanya orang-orang berada yang mempunyai ponsel komunikasi hanya melalui telepon kabel.

Aku terlalu malu untuk mengunjungi rumah Wira hanya sekedar menanyakan keberadaannya. Tapi, saatku hubungi melalui telepon informasi yang kudapat hanya dia meneruskan sekolah di luar negeri dan tidak ada informasi luar negerinya di mana. Di saat itu aku sangat kecewa tiada kata perpisahan, tiada pemberitahuan kepadaku tiba-tiba dia pergi begitu saja.

Kumenunggu dan terus menunggu kabar darinya sampai saat orangtuaku meninggal orang yang kutunggu untuk sedikit meringankan dukaku tidak pernah hadir memberikan bahunya untuk kubersandar menumpahkan kesedihanku.

Aku hanya bisa menguatkan adikku dengan berusaha tegar menghadapi kejadian itu. Aku pun sudah berusaha melupakannya setelah bertemu Mas Banyu dan menikah. Dengan Mas Banyu kumerasakan kebahagian karena Mas Banyu merupakan laki-laki ideal untuk menjadi suami sedikit demi sedikit nama Wira pun mengecil di dalam hatiku.

Sekarang tiba-tiba dia hadir dalam kondisiku sudah berpisah dengan Mas Banyu.Aku takut pada diriku sendiri, aku takut perasaan yang sudah aku kubur terhadapnya bisa bangkit kembali, sedangkan aku sedang memperjuangkan menyelamatkan Mas Banyu yang masih menempati ruang hatiku sampai detik ini. "Wira, kenapa kau hadir di saat seperti ini. Aku berharap tidak pernah bertemu denganmu," desahku pelan.

🌸🌸🌸🌸🌸

Jangan lupa klik vote dan tinggalin jejak berupa komen, kritik dan saran ya. Terima kasih.

SOFIA (Rahasia di balik perpisahan) TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang