Bagi jaemin korea tak hanya sebuah nama, tak hanya menjadi negara untuknya menjadikan sebuah kolom di identitasnya sebagai seorang manusia. Lebih dari itu negara ini telah mengajari dan memberinya banyak hal, dan ia hanya ingin suatu saat nanti mampu memberikan setidaknya secuil saja darinya untuk tanah yang telah memberikan segalanya.
Jaemin tak pernah memimpikan hidup di tengah gemerlap dan lampu sorot dunia hiburan, terlalu berlebihan rasanya kalau ia tak menginginkan segala kemudahan yang telah banyak diimpikan banyak orang ini, namun tetap saja di hatinya merasa kalau ada sesuatu yang bukanlah untuknya.
"Hyung kenapa kau masih selalu datang ke gereja, padahal di tengah waktu sibukmu kau seharusnya sudah kehabisan banyak waktu?" Jisung yang duduk di sebelahnya di dalam van yang membawa mereka pulang kembali menuju seoul menyandarkan kepala sambil melihat ke arah jaemin.
"Emmh aku tidak tahu Ji.." jaemin menjawab pertanyaan jisung hanya dengan sebuah senyuman.
"Sejak kapan hyung melakukannya?" Tanya sungchan yang duduk di kursi agak belakang.
"Emhh aku tidak ingat tepatnya kapan, tapi sejak aku mengingat ulang tahun pertamaku yang dirayakan, ketika usia lima atau enam tahun ayah dan ibuku sudah sering membawaku ke sana.."
"Apa kau merayakan ulang tahun ke lima mu bersama anak panti asuhan?" Jisung sampai menunjukan wajah kaget mendengar perkataan jaemin barusan.
"Ku rasa begitu.." jaemin hanya mengangguk tak mampu bisa memastikan.
"Aku merasa aku suka dengan anak-anak, dan ku harap kau akan lebih sering mengajakku pada banyak kegiatan volunteer seperti ini hyung.."
"Aku juga" sungchan ikut menimpali. "Rasanya menyenangkan bisa melihat mereka tertawa hanya karena tanpa sengaja kita menunjukan satu sisi konyol kita di hadapan mereka.."
"Apa menurutmu anak-anak itu menyukaimu karena kau pintar melakukan aegyo?" Tanya jisung lagi penasaran. "Atau kau senang melakukan aegyo karena keseringan main bersama anak-anak?"
"Hahaha.." jaemin terkekeh sebentar. "Apa menurutmu anak-anak merupakan versi kecil dari orang dewasa, ji?" Jisung mengangguk ragu mendengar pertanyaan jaemin "dan menurutmu orang dewasa adalah versi ukuran lebih besar dari anak-anak?"
"Apakah jawabanku salah, hyung?" Jisung menatap takut.
"Tak pernah ada jawaban yang salah ji, sama dengan tak semua pertanyaan membutuhkan jawaban.." jaemin menatap keluar jendela. "Kalau semua pertanyaan sudah terjawab ku rasa di sanalah hidup kita berakhir, bukankah semesta ada sepaket dengan misterinya?"
"Pantas saja hyung merupakan salah satu member NCT favorit nya Choi Siwon, kalian ternyata punya satu sisi yang sama, sisi yang mencintai kemanusiaan.."
"Ah kau terlalu melebihkan sungchan.." jaemin mengelak. "Aku hanya ingin terus berbuat baik dan siwon hyung adalah teladan yang sangat baik untuk urusan itu, dia memiliki hati yang sangat tulus terhadap sesamanya.." ia ingat di sebuah program dari unicef dua tahun lalu di asia tenggara, siwon sampai mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri hanya untuk memperbaiki sarana yang ada di sebuah desa, mulai dari jembatan, tempat ibadah, hingga ia memperbaiki beberapa rumah dan ia meminta agar tim merahasiakannya dan tidak diperbolehkan untuk meliputnya. Hingga ia merasa terlalu kecil untuk disamakan dengan nama sebesar siwon.
"Hyung, setelah kuliah apa benar kau akan langsung mendaftar ke wajib militer?" Jauh di lubuk hati jisung ia tidak ingin kehilangan jaemin sama sekali, sosok seorang kakak yang tak pernah segan segan menolongnya dalam kondisi apapun.
"Bukankah jika selesai lebih cepat akan lebih baik?" Jaemin balik bertanya.
"Tapi hyung karirmu sekarang sedang ada di posisi yang bagus, jika kau meninggalkannya ke luar negeri sekarang dan dilanjut dengan wajib militer maka kau bisa saja kehilangan segalanya.." sungchan ikut menyela, gemas karena ada orang yang dengan mudahnya melepaskan kesempatan emas yang dimiliki olehnya.
"Memangnya aku punya apa, chan?" Jaemin masih menatap ke luar jendela. "Kita tidak pernah menanam apa-apa, kita tidak akan kehilangan apa-apa.."
Hening sejenak di antara mereka bertiga hanya terdengar deru bunyi mesin mobil dan angin yang terbelah mengantarkan mereka ke tempat tujuan.
"Hyung, berjanjilah kau akan kembali pada kami.." tangan jisung menggenggam pergelangan tangan jaemin. "Berjanjilah kau tidak akan pernah meninggalkan kami.."
Jaemin tak mampu menjawab lagi perkataan jisung, ia bukan orang yang memberikan janjinya secara sembarangan pada semua orang dan dia tidak ingin membebani dirinya sendiri dengan hutang semacam itu.
Mobil berhenti dan menurunkan mereka di muka lobby dorm, jaemin membiarkan jisung dan sungchan turun duluan dan mengikutinya di belakang. Ketika hendak masuk lift dari arah cafetaria haechan dan yang lain memanggilnya untuk ikut bergabung bersama mereka, jaemin tak menemukan keberadaan jeno di sana.
"Apakah kalian baru pulang dari Doosan?" Tanya haechan.
Ketiganya mengangguk kemudian ikut duduk melingkar bersama di meja yang lumayan besar itu. Ada gusar di hati jaemin karena sejak pagi ia tidak bertemu dengan jeno.
"Hei jisung, kenapa wajahmu terlihat berbeda kau tampak bahagia saat ini.." renjun mencolek bahu jisung.
"Ah tidak, justru aku sedih karena harus kehilangan salah satu hyung terbaikku.." jisung kembali merengut menghilangkan kembali sorot matanya yang semula berbinar cerah.
"Kau tetap adik kecilku yang lucu ji, di manapun aku nanti.."
"Hyung, apakah kau sudah benar benar mempertimbangkannya, aku tahu kau sedang memikirkan masa depanmu, tapi bukankan untuk melanjutkan S2 sebenarnya bisa di korea saja?" Chenle menyela.
"Emmh edinbrugh sudah jadi kota yang aku impikan sejak lama Le, aku tidak mungkin mengabaikan kesempatan ini.."
"Bagaimanapun juga kami semua mencoba menghormati keputusanmu, kami mungkin menyayangkan namun kami akan tetap mendukungnya, tidak usah khawatir kapanpun kau ingin kembali ke dalam grup kami akan tetap menerimamu seperti sedia kala.." mark angkat bicara "bagaimanapun juga kau telah menjadi wajah grup, pasti sulit bagi agency untuk mengabaikan keberadaan dan ketiadaanmu di grup.."
sesungguhnya bagi jaemin setelah semua ini selesai dan kemungkinan terburuknya adalah ia tidak kembali lagi ke dalam grup ia sungguh tidak merasa akan menyesal nantinya, ia hanya ingin hidup sebagai seorang manusia, bukan sebagai seorang jaemin yang namanya selalu terpampang di billboard besar di tengah kota. Hingga ia merasa tak akan perlu menyesali keputusannya.
"Apakah jeno tahu soal semua ini?" Haechan akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang selama seharian ini membuatnya terus penasaran. "Apakah kalian sudah membicarakannya terlebih dahulu.."
semua orang menunggu jawaban jaemin, termasuk sungchan yang sejak tadi ikut duduk dan segan untuk nimbrung dalam pembicaraan mereka semua.
"Tidak.." gelengan kepala jaemin membuat nafas yang berat kembali dihembuskan oleh teman-temannya. "Ia pasti tidak setuju jika sejak awal aku membicarakan ini dengannya.."
semuanya kembali terdiam, hilangnya jeno sejak tadi pagi memperburuk suasana canggung ini.
"Apakah kalian melihatnya sejak pagi?"
Semuanya menggeleng mendengar pertanyaan jaemin.
"Sepertinya dia ikut menonton pertandingan sepak bola bersama taeyong dan yang lain.." jawab mark menunjukan foto di chat room grup mereka. Setidaknya kini ia merasa tenang mengetahui keberadaan jeno saat ini.
...
Tidak ada perpisahan yang baik, jeno dan jaemin benar benar menyadari hal itu. Apalagi sejak kemarin keduanya seakan puasa bicara, jeno merasa jaemin menghindarinya karena insiden dia yang dimarahi oleh ayahnya jaemin di depan dorm sementara jaemin merasa jeno berhenti tidak menyapanya karena ia berhutang penjelasan.
Jaemin mengintip pintu kamar jeno yang sedikit terbuka dan ia tak menemukan jeno ada di sana. Namun jaemin yakin jeno tidak akan pergi di cuaca sedingin ini di waktu sepagi ini, ia merasa perlu bertemu dan bicara dengan jeno meskipun mungkin tak akan berakhir seperti apa yang ada di dalam bayangannya.
Semua orang di dorm masih tertidur itu bisa terlihat dari betapa senyapnya dorm ini, tanpa teriakan haechan dan mark yang biasa memprovokasi agar haechan tak segera berhenti untuk bertingkat hiperaktif, tidak ada renjun dan chenle yang mengomel terus menerus karena merasa terganggu oleh berisiknya haechan dan mark. Sementara jisung biasanya hanya duduk di atas sofa dengan sekotak susu atau sekaleng kola sambil memperhatikan semua keributan yang dibuat oleh semua hyungnya.
Jaemin melangkah menuju lift dan menekan tombol paling atas, meski kecil kemungkinan jeno ada di sana tapi setidaknya ia berharap masih bisa menemukannya. Lift berhenti dan jaemin masih harus menaiki tangga satu lagi untuk sampai ke atap.
Langit kelabu, dan puncak puncak pohon yang ditutupi salju terlihat mengitari dorm, di atas gedung gedung lain yang tak kalah sepi karena manusia bodoh mana yang akan naik ke atas sini di jam tujuh pagi begini. Kecuali dua orang, yang kedua jalan di dalam hatinya hanya berujung pada sebuah gang buntu dikelilingi tembok ego dan emosi yang begitu tinggi.
"Aku tau kamu pasti di sini.." jeno duduk di atas cerobong asap yang biasanya dijadikan tempat pembuangan udara dari dalan gedung yang berbentuk segi empat, ia duduk sambil memandangi kota seoul di kejauhan. Kepalanya menoleh sebentar melihat jaemin yang berjalan menghampirinya dan duduk di sisi kananya cerobong asapnya.
Jeno tak menjawab, yang terlihat hanya hembusan nafasnya yang nyaris mirip kabut putih keluar dari kedua lubang hidungnya. Entah sudah berala ia berada di sini, seakan membiarkan tubuhnya sendirian kedinginan karena berada di ketinggian.
"Kembalilah, kamu nanti bisa terkena flu.." suara jeno sedikit mengecil membuat jaemin mengabaikan perintahnya dan tetap bertahan di tempatnya.
"Maaf kalau kita harus berpisah dengan cara seperti ini.." jaemin menatap ujung sepatunya yang mulai dikotori olah butiran salju yang turun dari langit.
"Memangnya kamu mengharapkan perpisahan yang seperti apa? Sebaik apapun perpisahan tetaplah perpisahan..."
hening merangkak di antara mereka berdua, menyelimuti tubuh keduanya yang semula kedinginan oleh cuaca kini dibuat beku oleh masalah yang seakan akan tidak dapat keduanya selesaikan.
"Maaf.." ucap jaemin pelan, suaranya sebenarnya lebih terdengar oleh kupingnya sendiri dibandingkan ka harus mengharapkan kalau jeno juga mampu mendengarnya.
"Kenapa?" Tak tahan lagi, jeno menatap orang yang duduk tak jauh darinya itu. "Kenapa bahkan aku tak mengetahui kalau kamu mendaftar kuliah ke sana? Kenapa tak memberiku kesempatan untuk mencegahmu pergi lebih awal? Kenapa seakan semuanya mudah buat kamu dan seakan akan hidup terpisah berbeda ruang dan waktu, berbeda kota dan benua, menjadi ide yang sepertinya menarik dari kepalamu? Kenapa?" Jeno sudah tidak mampu menahan emosinya sehingga ia berdiri di hadapan jaemin dan meminta penjelasan "Apakah ini semua karena ayahku? Atau karena pesta akhir tahun lalu? Sampai aku harus dihukum seperti ini?"
Lama jaemin tak menjawab ia hanya menendang nendang udara kosong di hadapannya.
"Karena hanya dengan mendengar satu kalimat saja soal gagasan tentang menjalani hidup berdua bersama kamu aku pasti akan berubah pikiran" jaemin mengangkat kepala air mata mulai jatuh satu persatu sementara matanya menatap pada orang yang ia cintai itu sejak dulu, kini dan di waktu waktu yang akan datang. "Karena sedikit saja kamu mencoba memintaku mempertimbangkan, aku pasti akan membatalkan semuanya dan tidak, tidak ada orang lain yang mempengaruhiku aku hanya sedang memikirkan masa depanku.."
"Masa depan tanpa ada aku di dalamnya?" Kerongkongan jeno naik turun menelan nafasnya yang berat karena menahan amarah di rongga dadanya. "Masa depan mana yang coba kamu bicarakan?"
"Kamu pikir aku mau hidup tanpamu? Kau pikir aku akan bahagia berada di tempat di mana kamu tidak ada di sana? Kembali ke kehidupan tanpa dirimu, kembali melihat wajah wajah yang bukan wajahmu? Mendengarkan suara yang bukan suaramu? Membayangkan bisa saja di sini beberapa orang, puluhan orang coba datang dan menggoda tempatku di hatimu?" Jaemin mulai sibuk menyeka air mata yang kini sudah membasahi seluruh wajahnya. Ia mulai mengangkat tubuhnya dan pergi dari hadapan jeno. "Kebanyakan orang tau bahwa cinta pertamanya tidak akan jadi satu-satunya cinta dalam hidup mereka.. tapi bagiku kau keduanya" jaemin tak mampu lagi menatap jeno yang kini sudah berdiri mematung juga dengan air mata yang sama.
"Jangan pergi.." jeno tak mampu lagi menahan langkah kaki jaemin yang mulai menuruni tangga, bunyi sepatunya beradu dengan anak tangga dari tembaga itu menggema memenuhi udara. Sementara jeno kehilangan kata kata seiring dengan bayangan jaemin yang juga kian menghilang dari matanya, tangisnya pecah ditelan oleh langit kelabu dan turunnya salju.
Sampai akhirnya ia sadar kalau ia belum memberikan perpisahan yang layak bagi pacarnya, tanpa pelukan atau hangatnya sebuah ciuman yang mungkin bisa menembus hingga ke angkasa juga hati jaemin dan semua rencana rencananya.
Jeno segera berlari menuruni tangga dan juga lift berharap masih bisa mengejar sosok yang selama ini telah memberikannya arti hidup dan bagaimana ajaibnya perasaan dicintai oleh seseorang, hati yang tak hanya hangat namun juga ia sadar kalau di sanalah selamanya hidupnya akan berawal dan berakhir.
Pintu lift terbuka di lantai dorm mereka, jeno segera berlari menuju pintu kamar yang paling dekat dengan lift, pintu kamar yang bahkan sudah ia hapal selama bertahun tahun ini. Pintu yang biasanya menyembulkan wajahnya yang dipenuhi oleh senyum dan mata yang berbinar saat melihatnya.
Pintu terbuka tanpa jeno harus memasukan kode masuknya dan tanpa kuncinya, tangan jeno mendorong takut tidak sekaligus berharap kalau orang yang sudah sabar mencintainya dengan segala kerapuhan yang ia miliki itu masih ada di sana dan ia masih bisa menahannya. Namun tubuh jeno lemas seketika ketika didapatinya kamar yang kosong dan kini hanya meninggalkan aroma yang akan ia rindukan dengan perasaan setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Day Dream [SELESAI]
FanfictionJeno dan Jaemin adalah idola muda dari sebuah agency besar di industri hiburan korea, keduanya sedang ada di dalam sebuah taksi menuju sebuah pesta perjamuan akhir tahun yang diselenggarakan agencynya. Jeno dan Jaemin adalah dua orang insan yang ta...