38. Tak peka

25.7K 2.4K 25
                                    

Bahkan kau tak merasa bersalah sedikit pun.

~Naira Sazia Akyra~
.
.
.

Gus Aidar pulang setelah mengerjakan shalat dzuhur berjamaah di madrasah. Ia memasuki ndalem setelah mengucap salam. Di ruang tengah, terlihat Nyai Fatima dengan memegang satu kitab suci Al-Qur'an.

Gus Aidar mendekati Nyai Fatima, dan meraih tangan untuk di ciumnya. Nyai Fatima menyudahi bacaannya, dan melepas kaca mata.

"Baru pulang, le? Tadi istrimu kok pulang duluan?" ucap Nyai Fatima dengan nada bertanya.

"Nggeh, Ummah." Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Gus Aidar. "Ummah, Aidar ke kamar riyen nggeh," lanjut Gus Aidar berpamitan yang diangguki Nyai Fatima.

Gus Aidar membuka kamar dengan pelan. Ia khawatir dengan keadaan istrinya, apalagi mendengar ucapan siswinya itu. Tapi ia masih ada jam mengajar tiga kelas hari ini, jadi ia urungkan untuk pulang dulu.

Bahkan tadi Gus Aidar setelah mengajar kelas pertama, ia memasuki ruangannya yang tak terlihat ada istrinya. Ia membuka ponsel, mungkin ada pesan dari Ning Naira, tapi ternyata tidak.

Gus Aidar memasuki ruang guru piket penjaga, untuk menanyakan di mana istrinya. "Tadi sudah pulang duluan, Gus," jawab guru penjaga itu.

Gus Aidar kembali ke ruangannya, beberapa kali ia menghubungi istrinya tapi tak di angkat satu pun. Bahkan beberapa pesan terkirim, tak di baca.

Alhasil Gus Aidar kembali ke kelas untuk mengajar. Baru setelah jam mengajarnya telah usai dan sudah mengerjakan Shalat Dzuhur ia pulang. Dan sekarang ia mendapati istrinya tengah memainkan ponsel.

Pelan, Gus Aidar masuk dan kembali menutup pintu. Ia meletakkan tasnya di atas meja. Ia mendekati sang istri, yang tengah fokus bermain dengan benda pipih itu di bawah hanya beralaskan karpet bulu.

Gus Aidar jongkok di belakang istrinya. "Assalamualaikum," salamnya berbisik. Meskipun berbisik tapi bisa membuat Ning Naira sedikit terlonjak kaget. Ia menoleh ke samping yang menampilkan suaminya yang tersenyum tipis.

Ning Naira meletakkan ponselnya di atas ranjang. Gus Aidar mengernyit heran, ada yang beda dengan istrinya itu.

"Salam Mas belum di jawab lho," ucap Gus Aidar ikutan berdiri. 'Bukan saya lagi?' tanya Ning Naira dalam hati.

"Wa'alaikumsalam," balas Ning Naira.
"Mau Naira ambilkan minum?" tawar Ning Naira. Bagaimana pun ini semua masih kewajibannya. Gus Aidar menggelengkan kepala.

Ning Naira mengangguk dan berjalan ke arah sofa dan duduk. Ia bingung mau melakukan apa, sedang pekerjaan di dapur sudah selesai. Gus Aidar ikutan duduk di samping istrinya.

"Tadi kenapa pulang dulu?" tanya Gus Aidar. Ning Naira menatap suaminya. Tatapan keduanya bertemu sebelum Ning Naira yang memutusnya.

"Em, pengen pulang dulu, mau bantu Ummah masak," jawab Ning Naira. Gus Aidar mengangguk, meskipun sedikit tak percaya dengan jawaban istrinya itu.

"Mas kira kamu sakit, Nduk," ucap Gus Aidar tersenyum lega. Ning Naira menggeleng.

"Naira keluar," pamit Ning Naira melangkah keluar. Gus Aidar masih tak paham dengan sikap sang istri yang berubah.

.
.
.

Di salah satu kamar santri wati, seorang perempuan dengan sapu tangan di genggamannya itu masih terus berpikir. Siapa orang yang memberikannya sapu tangan.

"Kamu itu, Lin. Dari kemarin megang sapu tangan itu terus. Kenapa sih?" tanya salah satu orang itu. Yang di tanya hanya menggelengkan kepalanya.

"Ayok ke ndalem, Lin," ajak teman satunya yang memang salah satu seorabg abdi ndalem. Falin mengangguk, dan berdiri sembari memasukkan sapu tangan itu di saku jas pondoknya.

"Mbak Nada, kalau mau  beli peralatan alat tulis di mana ya? Bulpoinku udah hampir habis ini," tanya Falin pada Nada di perjalanan.

"Oh ... di koperasi ada kok, nanti aku anter," jawab Nada. "Eh kok kamu, manggil aku mbak sih?" ucap Nada tak setuju.

"Terus siapa?"

"Nada aja, kita paling seumuran, aku 25 bulan depan, kamu?"

"Aku juga 25 lhoh, tiga bulan lagi," sahut Falin. "Eh 'kan emang bener aku manggilnya Mbak."

Nada terkekeh pelan. "Nada aja ya, biar nggak kelihatan tua aku." Falin yang mendengarnya pun langsung ikutan terkekeh.

Pandangan Falin mengarah pada seseorang yang baru saja dari ndalem. "Nad itu siapa namanya?" tanyanya langsung pada Nada.

Nada melihat orang yang di tunjuk oleh Fakin itu. "Oh ... itu tuh Gu eh Kang Zaka," jawab Nada yang hampir keceplosan memanggil dengan sebutan Gus.

"Zaka?" lirih Falin. Ia tersenyum tipis. 'Jadi Zaka yang udah ngasih aku sapu tangan.'

Mereka berdua memasuki area dapur ndalem. "Lin kamu antarkan teh ini pada Abah ya, di gazebo," titah temannya. Falin hanya mampu mengangguki.

Falin meraih nampan itu dan membawanya ke gezebo. Sebelum itu matanya menangkap seseorang yang berdiri sembari memakai sandal itu. Mata mereka bertemu sekejap. Sebelum Falin memutusnya. Tak seharusnya ia bertatapan dengan orang yang sudah beristri.

Falin menyuguhkan teh itu pada Yai Ali dengan tunduk. Setelah itu pamit undurkan diri. "Gimana keadaan MA, le?" tanya Yai Ali saat Gus Aidar sudah duduk di samping.

"Alhamdulillah, Bah. MA sekarang, sudah lebih maju," jawab Gus Aidar. Obrolan ayah dan anak itu bmasih berlangsung.

.
.
.

Gus Aidar masuk ke ndalem dari pintu samping. Ia melihat istrinya tengah membawa satu kardus, yang entah apa isinya, yang kelihatan itu berat. Ia segera menghampirinya.

"Kenapa ndak minta tolong sih, Nduk?" ucap Gus Aidar. Ning Naira menatap suaminya, dengan senyum tipis.

"Naira ndak mau nyusahin Mas." Ning Naira kembali melanjutkan jalannya. Sebelum Gus Aidar meraih kardus itu dan di bawanya menuju dapur.

Setelah meletakkan kardus itu di tempat Gus Aidar menatap istrinya dengan tatapan yang tak biasa. "Kenapa ndak minta tolong?" tanya Gus Aidar dengan pertanyaan yang sama.

"Nanti malah nyusahin Mas," jawab Ning Naira.

"Nyusahin apa sih, dari pada tadi kamu kesusahan membawanya," ujar Gus Aidar sedikit kesal.

'Tadi pagi, aku minta tolong buat siapin tas kerja aku Mas bilang aku nyusahin.' Sayangnya ucapan itu hanya keluar dalam hati.

"Kenapa?" tanya Gus Aidar lagi. Ning Naira menggeleng.

"Mau minum?" tawar Ning Naira. Gus Aidar mengangguk.

"Es yah," ucap Gus Aidar. Ning Naira hanya menganggukkan kepalanya. Gus Aidar menunggunya di ruang tengah dengan memainkan ponselnya.

Ning Naira menyodorkan mimuman itu pada Gus Aidar. Saat suaminya itu sudah mengambil minumannya, Gus Aidar meraih tangan istrinya untuk duduk di sampingnya.

Setelah Ning Naira duduk, Gus Aidar kembali menyodorkan satu gelas es itu pada istrinya. "Minum," ujarnya. Ning Naira mengerutkan keningnya lalu menggeleng.

"Minum, Nduk." Ning Naira kembali menggeleng. Gus Aidar masih keukeh menyodorkan ke istrinya. Sedikit terpaksa, Ning Naira meminumnya sedikit. Membuat Gus Aidar tersenyum tipis.

Setelah itu Gus Aidar minum tepat di sisi istrinya minum itu.

.
.
.

Sesuai janji, update 10k 🤗

020221

Repost

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang