23. Pergi bersama

42.5K 3.6K 43
                                    

"Bibi, tadi mana? Kok Davi tama Aka cali-cali ndak ada?" tanya Davi langsung kepadaku saat aku dan Gus Aidar baru saja menginjakkan kaki di lantai ndalem.

Aku menggiring mereka berdua masuk ke ndalem. Duduk di sofa ruang tamu. Mereka berdua duduk di sampingnya. Davi di samping kiri dan Saka di samping kanan. Sedangkan Gus Aidar duduk di sofa single.

"Bibi, tadi mana?" tanya Davi lagi saat tak mendapat sahutan dariku tadi.

"Pergi sebentar." Bukan aku yang menjawab, tapi suamiku, Gus Aidar. "Udah ya, kalian mau ikut ndak? Ke rumah Bibi?" tawar Gus Aidar selanjutnya.

"Mau!" jawab Saka dan Davi dengan antusias.

"Tapi 'kan lumah Bibi lumah Aka?" ucap Saka selanjutnya dengan nada bertanya.

"Kalian mandi dulu ya sama Bibi, Saka nanti pakai bajunya Davi, paman ambilkan dulu bajunya." Gus Aidar beranjak masuk. Aku masih terbengong. Tak lama kemudian, tanganku di tarik oleh Saka dan Davi memasuki kamar.

Setelah memandikan mereka berdua aku membalut tubuh mereka dengan handuk kecil milik Davi. Gus Aidar tadi yang mengambilkannya. Keluar dari kamar mandi mendapati Gus Aidar duduk di pinggiran ranjang.

"Kamu mandi aja dulu. Biar Mas yang memakaikan mereka baju," ucap Gus Aidar lalu menarik Saka dan Davi. "Itung-itung buat latihan," lanjutnya berbisik. Dengan segera aku memasuki kamar mandi. Bagaimana aku bisa lupa membawa baju ganti. Aku harus keluar lagi menahan malu.

Membuka pintu kamar mandi. Dapat kudengar Gus Aidar masih terkekeh. Dan masih memakaikan baju untuk Davi sedangkan Saka sudah selesai. "Lhoh kenapa keluar?" tanyanya saat melihatku berjalan ke arah lemari.

"Ambil baju," jawabku singkat. Lalu berlalu memasuki kamar mandi.

.
.
.

"Lhoh Saka sama Davi kemana?" tanyaku saat tak melihat mereka berdua. Aku baru saja keluar dari kamar mandi, dengan jilbab segiempat yang melekat di kepala tanpa jarum.

"Main ke luar tadi," jawab Gus Aidar yang duduk di pinggiran ranjang sembari menatapku. Aku berjalan ke arah meja rias. Meraih bedak tabur. Sebelum itu aku menoleh ke arah Gus Aidar.

"Gus ndak mandi?" tanyaku. Gus Aidar menggeleng.

"Nggak mandi beneran?" tanyaku memastikan. Gus Aidar menganggukkan kepalanya. Ia berjalan ke arahku. Lalu meraih salah satu celak hitamku.

"Sini tak pakein celak," ucapnya sembari membuka wadah celak itu. Aku reflek menggeleng. Tak terbiasa di pakaikan oleh orang lain.

"Sini." Gus Aidar menarik tanganku hingga tak ada jarak di antara kita. Di dekatnya saat ini, jangan lupakan jantungku yabg berdetak lebih cepat.

"Liat atas," titahnya. Aku hanya menurut lalu ia memakaikan celak di mataku. Sesekali aku kedip. "Jangan kedip terus, jelek nanti hasilnya." Dengan berusaha agar aku tak berkedip. "Dah, cantik." Gus Aidar menutup celak itu lalu menaruhnya di tempatnya tadi.

Aku menatapnya. "Gus beneran nggak mandi?" Gus Aidar malah terkekeh. Lalu mengacak rambutku yabg tertutup jilbab.

"Mandi, hanya untuk orang yang tidak terpacaya diri, Ra," ucapnya. Aku mengerutkan keningku. Ia bicara apa? Masak gitu?

"Jadi aku orang nggak percaya diri?" tanyaku.

Gus Aidar mengangkat kedua bahunya acuh. "Mungkin. Pas mondok aja aku mandinya kalau ndak antri. Pas antrinya panjang, ya sudah ndak jadi mandi."

"Oke-oke terserah njenengan," jawabku acuh. Sebenarnya aku tak kaget kalau Gus Aidar jarang mandi. Karena bukan hanya dia aku pun juga. Tapi kalau pas udaranya dingin saja.

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang