24. Bahagia itu sederhana

39.3K 3.8K 74
                                    

HAPPY READING

Allah membuat semuanya indah pada waktunya yang tepat, dan jika tidak indah maka belum tepat waktunya.

_________

POV GUS AIDAR

Bisa dibilang ini flashback dari sudut pandang Gus Aidar.

Kupandangi wajah ayu yang kini sudah terlelap di sampingku. Ku usap rambutnya yang sebagian menutupi wajahnya. Mungkin saja ia kecapean akibat perjalanan kami tadi. Bahkan saat ini masih pukul delapan malam. Masih jauh sebelum jam biasanya aku tidur.

Apa yang kulakulan untuk mengusir kejenuhan ini. Sedangkan tadi di luar Abi dan Umi menyuruhku dan Naira beristirahat. Ku lihat ponselku berada di nakas samping Naira. Aku mengambilnya dengan hati-hati, takut istriku tercintaku terganggu. Ya, sekarang aku mulai mencintainya. Ketulusan hati dan kesabarannya, mampu membuatku jatuh dalam pesonanya. Apalagi saat ia tersenyum.

Masih kuingat saat aku baru saja mengucap ijab qobul. Aku memasuki kamar ini, dengan hati yang kurang ikhlas. Ya, perjodohan yang di lakukan Abah dan Ummah. Bukan karena aku tak mengenalnya, aku kenal, dia adik kelasku saat MA, bahkan kami pun satu pondok.

Aku mendekatinya, dapat kulihat wajahnya yang gugup dengan jari tangan yang saling bertautan. Aku duduk di sampingnya. Memegang tangannya lalu meraih cincin pernikahan di saku jasku, dan memakaikannya. Dapat kurasakan tangannya yang dingin.

Selesai aku memakaikannya, Naira mengulurkan tangannya ke arahku. Tapi, dengan bodohnya aku mengabaikannya. Aku hanya mengajaknya untuk turun, aku melihatnya wajahnya yang berubah.

Menuruni tangga untuk sampai ke lantai satu. Saat baru sampai di pertengahan tangga aku menunggunya yang masih lumayan jauh di belakangku, sebab kebaya yang ia pakai. Aku menggenggam tangannya yang masih dingin itu menuntunnya ke tempat ijab qobul tadi.

"Pengantin lama banget keluarnya," ucap Riyan, salah satu teman lamaku. Aku menatapnya tajam. Selepas foto-foto, aku dan Naira berganti pakaian lagi. Kenapa sampai ribet gini sih. Jas berwarna peach, dan bawahan sarung yang masih sama tadi. Aku keluar dari kamar, dan di luar sudah ada Ummi, dan beliau menyuruhku untuk menjemput Niar yang berada di kamar sebelah.

Aku membuka pintu kamar itu yang tidak tertutup rapat. Jujur aku sempat terpesona dengannya. Dan dengan segera aku menepisnya. Lalu berucap, "Ayo."

Dalam hati aku menggerutu, kenapa acaranya tak selesai-selesai. Ada banyak tamu yang diundang. Aku melihat ke arah perempuan di sampingku ini, sesekali memegang kakinya, yang ku yakini sama sepertiku, dia kelelahan. Aku mengalihkan pandanganku darinya, aku melihat perempuan yang mungkin sudah lama bersemayam di hatiku. Aku terus memandangnya, kadang sesekali ia tertawa dengan tamu lain. Bahkan sudah berapa tahun aku tak melihatnya. Mungkinkah ia masih sendiri? Atau sudah menikah. Itu yang berada di pikiranku saat itu.

Ia menghampiri perempuan di sampingku, yang sudah sah menjadi istriku ini. Ia mengucapkan selamat dan juga saling berpelukan, aku hanya menatapnya sampai Fiya di depanku, ia menangkupkan kedua tangannya di depan dan menganggukkan kepalanya sekali.

Malam setelah melaksanakan Shalat jama'ah di musholla rumah. Aku sedikit berbincang dengan Abi. Beliau bercerita banyak hal tentang Naira. Sampai kata di mana yang mampu membuat hati ini tertusuk.

"Jangan sampai kamu sakiti anak perempuan Abi, ya. Dia mutiara Abi, sekali kamu menyakiti hatinya, entah Abi bisa mema'afkan atau tidak. Kalau kamu ndak betah sama dia. Kamu bisa mengembalikannya pada Abi. Dengan tangan terbuka Abi akan menerimanya kembali. Dan jangan harap kamu bisa mendapatkannya kembali."

Aku sendiri mematung mendengar penuturan beliau. Bahkan tadi aku sudah menyakiti hatinya. Setelah itu Abi pamit untuk mengecek keadaan pesantren. Dan menyuruhku untuk istirahat.

Aku sudah berada di depan pintu kamar Naira. Aku mengetuknya pelan. Sampai sudah beberapa kali aku mengetuknya tidak ada sahutan sama sekali. Suara gemericik air dari kamar mandi, yang kuyakini ada Naira di dalamnya. Aku duduk di ranjang sembari menunggunya. Pintu kamar mandi terbuka. Ia menghampiriku dan berucap apkah aku ingin memakai kamar mandi. Sedangkan aku hanya menjawab dengan deheman saja.

Selepas itu aku berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju ganti. Kata Ummah sudah membawakannya bajuku sebagian ke sini. Bahkan Naira mengikuti menawarkan agarbia yang mengambil bajuku. Aku memberinya ruang untuk ia mengambilkannya.

Saat ia mau mengambilkan celana pendek untukku aku menghentikannya dan menyuruhnya untuk mengambil sarung saja. Setelah itu ia menyerahkannya padaku. Aku langsung saja melenggang pergi begitu saja. Ya, aku memang orang tak tau terima kasih. Kalian bisa menghujatku.

Selepas membersihkan diri dan berganti pakaian, aku keluar dari kamar mandi, mendapati Naira yang duduk di pinggiran ranjang. Aku berucap, "Belum tidur." Ia tersenyum manis. Lalu menjawab menggelengkan kepalanya.

Aku menyuruhnya untuk tidur karena hari sudah malam, ia masih saja tersenyum. Aku berjalan ke arahnya. Meraih satu bantal, dan kulihat lagi wajahnya yang sudah berubah.

"Saya tidur di sofa saja. Ma'af saya belum bisa tidur satu ranjang denganmu." Dulu, aku tau perkataanku barusan sangat menyakiti hatinya.

Tapi sekarang aku menyesal memperlakukannya dingin seperti itu. Bahkan ia juga korban, sama sepertiku. Tapi aku malah menyalahkannya dirinya yang jelas tak bersalah. Aku mengusap lagi rambutnya lalu mengecupnya pelan keningnya.

Kini di tanganku sudah ada ponsel milikku dan miliknya. Ya, aku memang sengaja mengambilnya, sebab aku juga penasaran, apa saja isinya. Aku sengaja pertama membuka galeri. Aku tersenyum tipis saat melihat beberapa foto dirinya, dan beberapa quotes. Saat sampai dimana foto Naira tanpa jilbabnya. Aku menahan senyum. Sangat cantik disini. Aku mencari foto yang lain dan ternyata hanya satu fotonya yang tak berjilbab.

Aku berniat mengirimkannya ke ponselku bari kuingat kalau Naira tak memiliki nomor ponselku. Aku mengirimnya lewat aplikasi Whattsapp. Aku juga menyimpan nomporku dengan nama 'Masku'. Yang menurutku tidak terlalu alay. Selepas itu aku meletakkan ponselku dan ponselnya di tempat semula. Sebelum itu aku menghapus riwayat pesannya.

Mungkin sebab pergerakanku, tidur Naira terusik. Ia mengerjap pelan. Sedangkan aku yang masih dalam posisi di atasnya. Segera duduk seperti semula.

"Ada apa, Gus?" tanyanya, dengan mata yang menyipit.

"Ah, ndak," jawabku seadanya. Aku berdecak dalam hati, entah sampai kapan ia memanggiku Gus.

"Mboten tilem, Gus?" tanyanya lagi.

"Belum ngantuk," jawabku. Aku tak tau harus menjawabnya apalagi yang lumayan panjang.

Naira mengambil posisi duduk, merapikan rambut hitam legam panjangnya, lalu menyisikan di depan. Dan menyender ke kepala ranjang.

Aku bertanya, "Kenapa ndak diterusin lagi tidurnya?"

Ia hanya menjawab menggelengkan kepalanya. "Oh ya Davi sama Saka?" tanyanya. Dalam hati aku mengaguminya sifat yang ke-ibuannya itu.

"Mungkin udah tidur, tadi main sama Umi," jawabku. Ia mengangguk, lalu meraih ponselnya dan membukanya. Ada beberapa notifikasi yang masuk, tapi kenapa saat aku membukanya tadi tidak ada. Aku berdecak, jika sudah seperti ini maka ia akan mengabaikanku.

"Nduk," panggilku. Aku mulai nyaman dengan memanggilnya dengan itu. Aku masih ingat untuk pertama kali aku memanggilnya dengan panggilan itu saat di dapur. Iya, aku mengangguk memanggilnya itu saat ada Ummah dan Mbak Ndalem yang berada tak jauh darinya. Tak mungkin juga aku memanggilnya dengan Ning, sebab dulu aku masih memanggilnya Ning.

Ia menoleh ke arahku. "Nggeh?" jawabnya.

"Laper," ucapku dengan cengengesan.

Aku menahan tawa saat melihat wajah cengonya. Sangat menggemaskan.

.
.
.

Tbc

Next part masih POVnya Gus Aidar.

081220







Follow my ig: @afrilia.ni

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang