41. Jalan jauh pertama

32.9K 3K 59
                                    

Angin tidak berhembus untuk menggoyanngkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya.

~Ali bin Abi Thalib~
.

.

.

Mereka berempat sudah berada di stasiun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mereka berempat sudah berada di stasiun. Setelah mengerjakan shalat Isya' Kang Amar yang mengantar mereka. Masing-masing Gus itu membawa kopernya. Kedua pasangan suami istri itu hanya membawa masing-masing satu koper.

Mereka memasuki kereta dan berpamitan pada Kang Amar. Tempat duduk mereka berdampingan, Gus Aidar di sisi kiri beserta istrinya dan Gus Syauqi di sisi kanan beserta sang istri.

Gus Aidar menyuruh istrinya duduk di samping jendela. Setelah itu Gus Aidar mengambil duduk di sebelahnya. Kopernya hanya ia taruh di depannya.

Gus Aidar yang menatap sang istri yang tengah memperhatikan para pengantar yang berada di stasiun. Ia meraih tangan sang istri lalu di genggamnya erat. Seketika Ning Naira menoleh ke samping. Gus Aidar hanya menanggapinya dengan tersenyum.

Tak lama kemudian kereta telah berjalan. Mereka berdua sangat menikmati perjalanan pertama yang lumayan jauh.

"Nggak sabar deh," bisik Gus Aidar di telinga sang istri. Ning Naira yang menerima bisikan itu menatap sang suami.

"Nggak sabar apa, Mas?" tanya Ning Naira. Gus Aidar mengulum senyum.

"Nggak sabar liburan lah," jawabnya. Istrinya itu hanya menganggukkan kepalanya.

"Nduk, diam terus," ucap Gus Aidar lagi. Istrinya itu menatap suaminya bingung.

"Terus mau bicara apa?" tanya Ning Naira. Gus Aidar mengendikkan kedua bahunya acuh.

"Kamu masih marah soal Riha?" tanya Gus Aidar kemudian. Ning Naira menggeleng kepalanya.

"Marah? Nggak Naira nggak marah kok, buat apa marah?" Gus Aidar menatap istrinya dalam dengan menaikkan satu alisnya ke atas.

"Terus tadi? Katanya cemburu gitu," ucapnya yang terdengar mengejek di telinga istrinya. Ning Naira dengan tampang menantang sang suami, dengan ikutan menaikkan satu alisnya.

"Kan cemburu sama marah beda, Masku Sayang." Ucapan Ning Naira membuat suaminya terdiam kaku. Dengan segera Gus Aidar mengembalikkan ekspresi biasanya.

"Apa tadi panggilnya?" tanya Gus Aidar. Ning Naira mengendikkan kedua bahunya acuh dan segera mengalihkan pandangannya. Gus Aidar yang melihatnya langsung menyelipkan pergelangan tangannya di leher sang istri untuk merangkulnya. Ia dekatkan kepala sang istri untuk bersandar di bahunya.

"Jujur aja kenapa sih? Kamu ndak suka 'kan interaksi Mas dengan Riha tadi sore?" Bukan apa Gus Aidar mengatakan itu, pasalnya setelah kejadian saat istrinya mengatakan kalau cemburu, istrinya itu mengajak pulang. Setelah sampai rumah pun, istrinya itu enggan menatapnya. Jadi ia simpulkan istrinya itu marah sebab Riha.

Untukmu Imamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang