Lost(?)

1.1K 110 34
                                    

Setelah kemarin dia membuatku yakin. Hari ini, aku dibuat gundah lagi. Ya Tuhan. Rasanya hatiku ini kebas. Nggak bisa lagi memaknai cinta. Di dalam sana, nama Enggi memang masih melekat. Samar memang, tapi tak pernah musnah sepertinya.

Kalau kemarin aku mengatakan sanggup. Sekarang, aku gelisah dengan kalimatku sendiri. Antara iya dan tidak. Rasa ini belum jelas.

Semakin beranjak dewasa, semakin mati rasa. Sial! Enggi memang hebat. Memusnahkan segalanya.

Ketika aku telah melabuhkan rasa percayaku pada satu lelaki, ternyata bimbang selalu datang. Reyfan dwi fandy. Lelaki yang tak sengaja bertemu denganku malam itu. Memberiku tumpangan untuk pulang, ya pulang dengan hati yang hancur kala itu.

Sulit.

"Pulang, Dek. Ada anak teman Ayah yang mau ngelamar kamu."

Aku ternganga menggenggam telepon. Wah, rumit sekali perjalanan ini. Reyfan yang mati-matian menaklukkan hati Abang dan Ayah, tapi ternyata Ayah lebih membuka pintu untuk lelaki lain.

"Ketemu dulu, Nadira. Dia baik, Ayah kenal banget malah. Dulu temen main Abang waktu kecil."

Kalau aku bilang ragu pada Reyfan, ternyata aku lebih berat untuk menerima lamaran lelaki lain selain Reyfan. Ah, kacau sekali diriku ini.

"Point pentingnya, sih. Dia bukan tentara. Dia jaksa."

Lucu memang. Tentara satu itu melarangku menikah dengan sekutunya.

"Abang, selesaiin dulu urusan sama Reyfannya. Jangan main-main sama ucapan," kataku hati-hati.

"Loh? Main-main gimana? Buktinya dia nggak ada ngelamar kamu."

Aku menghela napas berat. Abang keras kepala. "Abang ngasih kesempatan buat dia, 'kan? Nadira juga ngasih kesempatan ke dia. Kalau dia benar-benar hilang, Nadira terima lamaran lelaki itu."

"Dasar, cewek! Aish! Yaudah, Abang tunggu Reyfan dua minggu ke depan. Kalau ilang, ya siap nyesel."

"Yaa, Bang. Nadira serahin ke Allah aja. Tapi kasih waktu buat Reyfan."

"Tapi, kamu suka sama dia?"

Aku diam.

"Kalau suka, yaa Abang dukung. Tapi kalau nggak jelas, Abang lebih senang kamu sama lelaki pilihan Ayah ini."

Sambungan terputus tanpa salam. Siapa lelaki yang dimaksud Abang itu? Teman kecil? Kenapa aku nggak tau?

Setelah jam makan siang habis, kulanjutkan pekerjaanku. Aish. Kenapa aku jadi ingat Reyfan. Sebelum aku pulang kampung, dia sering datang di sini.

"Nadira, ada yang nyari di lobi."

Reflek aku langsung berdiri sumringah. Reyfan kah?

Buru-buru aku keluar, sembari menyusun kalimat untuk kuucapkan padanya. Kali ini saja, aku ingin melepas egoku. Biar segera tuntas, dan tau kemana hati ini akan berlabuh.

Jika dia bersedia datang pada Ayah dan Abang, aku akan memilihnya. Jika dia tak bisa, maka pilihan Ayah lah yang akan kupilih. Kendati aku tak tau siapa lelaki itu.

Siang ini mendung, mengayunkan angin yang tak semilir. Yang kutatap adalah punggung tegap berkemeja biru. Tapi, sepertinya ada yang beda. Aku mengernyit, memerhatikan punggungnya itu. Reyfan.

"Kak?"

Dia menoleh, tanpa senyum. Lalu menghadapkan badannya menghadapku. Tangannya mengulurkan amplop putih, "Dari Reyfan."

Aku ternganga di tempat. Punggung itu bukan miliknya. Apa maksudnya? Kutatap amplop putih yang masih dicapit ibu jari dan telunjuk lelaki di depanku ini. Entah siapa dia.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang