Ku Kira Aku Rumah

1.2K 116 29
                                    


Benaran ya, waktu terasa begitu cepat berlalu. Kemarin rasanya baru ikut ospek, baru interview buat jadi anggota pers, sekarang tau-tau udah masuk semester enam.

Tiga tahun berlalu begitu saja. Eh, tidak. Maksudnya berlalu dengan sangat indah. Indah sekali, meski aku harus menahan egoku agar mampu berjauhan dengan Enggi.

Tahun pertama, Enggi selalu menyusul ke Jogja saat pesiar.

Tahun ke dua, aku mulai berani datang ke Magelang untuk bertemu dengannya.

Banyak waktu yang terbuang. Bukan terbuang, tapi lebih ke--tidak bisa kumanfaatkan dengan baik.

Cuti hari raya, Enggi pulang meski hanya satu minggu. Dan aku? Nggak pulang! Saat hari raya, aku sudah masuk jadwal kuliah. Maksudnya, libur semesterku sudah sebulan sebelum hari raya. Jadi, cuma dapat libur empat hari. Rugi kalau mau pulang ke Sumatera.

Sebenarnya satu minggu penuh, tapi tanggung jawabku sebagai sekretaris Ruang Pers di kampus membuatku tak bergerak bebas.

Dalam tiga tahun yang kami lewatkan, hanya satu kali lebaran kami menikmati kebersamaan. Tahun kedua tepatnya. Dia pulang, aku juga pulang.

Semakin hari aku rajin memupuk rindu. Sebutan untuk diriku sendiri adalah pecandu rindu. Setiap hari rasanya rindu terus.

Tiga puluh enam bulan lebih kami menjalani status LDR, tak menutup kemungkinan untuk bertengkar. Perdebatan kecil sering terjadi akhir-akhir ini.

Hari raya ke empat, Enggi izin untuk datang ke pesta korps di Palembang. Setauku, saat ada pesta begitu, Taruna membawa pasangannya. Aku senang, bakal diajak Enggi.

Nyatanya semua hanya angan. Dia tak mengajakku! Kutanya kenapa, katanya dia nggak enak membawaku pergi jauh apalagi sampai menginap. Benar juga, sih. Perlahan logikaku menyetujui keputusannya. Tapi tetap saja ada sedikit kecewa yang meradang.

Selama tiga tahun ini, aku tak pernah diajak datang ke acara Enggi. Cuma satu kali, diajak makan bareng sama teman-temannya. Bahasanya sih, triple date karena ada tiga pasang kekasih.

Oh, iya. Fyi, Enggi benar-benar berubah. Badannya jadi tegap banget! Rahangnya juga keras gitu kelihatannya.

Siapapun yang melihatnya, dijamin akan sulit berpaling. Ah, lebay banget sih. Kayaknya itu cuma Nadira, deh. Iya, Nadira yang udah kebucinan itu.

Suatu kebanggaan, menjalin hubungan dengan Enggi sudah tujuh tahun lamanya. Sampai para tetangga sudah melabeli kami 'calon pengantin'. Uwuw, aku sih mau banget!

Mendapat label seperti itu, aku jadi sering ngepoin akun persit. Hahaha. Belum juga resmi jadi persit, akun instagramku ramai difollow oleh akun persit. Bukan. Lebih tepatnya akun @calonpersit.

Itu juga karena aku meng-upload fotoku dengan Enggi yang berdiri sambil saling menatap di Malioboro tahun lalu. Kala itu dia pesiar, langsung menjemputku yang sedang liputan di Malioboro. Saat itulah pertama kali Kak Galang bertemu dengan Enggi.

Oh, iya. Kak Galang sedikit mengibarkan patok jarak antara kami. Waktu itu Enggi nggak sengaja dengar Kak Galang menanyakan kotak merah berisi gelang silver yang diberikan padaku. Enggi langsung menyuruhku untuk mengembalikan pada Kak Galang detik itu juga.

"Hoy, ngelamun aja anak gadis!" Suara Mbak Irma membuyarkan lamunanku. Salahku juga sih duduk di tengah pintu sambil menopang dagu, pikiranku melayang jauh kemana-mana.

Mbak Irma sepertinya pulang dari kampus. Dia memang sedang sibuk skripsi saat ini. Di depan dadanya, ia mendekap buku tebal yang kuyakini itu referensi untuk skripsi yang ia geluti.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang