Ketahuan

1.1K 110 17
                                    


Aku dan Angga baru saja selesai menonton mahasiswa baru yang uji coba liputan, sebagai syarat masuk dalam anggota pers kampus. Lumayan lelah, dari pagi sampai sore terus memantau mereka.

Banyak yang mengeluh, tapi akhirnya mereka membuang napas lega begitu sudah melalui. Kubilang juga seru, aku awalnya ogah menjadi bergairah untuk menjadi anggota pers.

Angga mengibaskan topi di depan wajahnya, menciptakan hawa sejuk untuknya. Aku mengibaskan ujung kerudungku, mencoba hal yang sama seperti apa yang dilakukan Angga. Sejuk.

"Pulang, Dir?" tawar Angga, pembuka pembicaraan kami saat ini. Aku mengangguk, berhenti mengibas ujung kerudung. Berdiri, menyangkleng tas dan langsung pergi. Eh, pamit dulu. "Balik duluan, Ngga."

"Hati-hati." Aku mengacungkan ibu jari, lalu berlenggang.

Pulang dengan jalan kaki. Selain menghemat, lumayan juga bisa menikmati suasana pinggir jalan. Kuamati motor yang seliweran, matanya fokus ke depan. Wajar, dong.

Tak sedikit mahasiswa berlalu lalang, pasalnya ini dekat dengan area kampus. Di ujung jalan sana, dekat dengan gang kecil masuk area kontrakan, Kak Galang berhenti di tepi jalan. Dia duduk di atas motor, tangannya sibuk mengutak-atik ponsel.

"Kak!" seruku. Yang merasa dipanggil pun segera menoleh, matanya berbinar dengan bibir senyum. "Hey Dir!"

Aku berjalan mendekat, untuk sekadar menyapa mantan ketua pers itu. Dia membuka helm-nya, menangkringkan di spion sebelah kanan. "Darimana?"

"Kampus, dong. Kak Galang mau kemana?"

"Mau keluar, cari sesuatu buat wisuda." Aku menganggukinya. Kak Galang akan diwisuda Rabu besok. Tentunya bareng dengan Mbak Irma jadwalnya.

"Datang, ya!"

Aku tertawa pelan, "Yaiyalah, Kak. Kak Galang ini 'kan Kakak tingkatku. Otomatis aku dan teman-teman datang. Apalagi Kakak pernah menjabat sebagai ketua kami."

"Oiya, lupa."

"Kak, abis wisuda lanjut nih?" kataku menggoda. Kak Galang mesem, "Lanjut apa?"

"Ah, pura-pura bloon! Lanjutin hubungan sama Mbak Irma lah. Katanya mau dihalalin setelah wisuda."

Kak Galang memakai helm-nya, lalu mencibir, "Haram kali, Dir di halalin!"

"Hubungannya loh, Kak. Orangnya mah nggak haram!" Kak Galang terkekeh. "Dah lah, bye!"

"Hati-hati, Kak!"

"Yoi."

Aku memutar badan, melanjutkan langkah pulang ke tempatku menetap di kota ini. Kuputar-putar gantungan kunci yang nempel di sleting tas. Menengok kanan-kiri, memerhatikan sekitar. Byuh, ada pemandangan mengerikan. Sepasang kekasih berboncengan, tanpa helm. Si perempuan melingkarkan tangan ke pinggang lelaki. Ah, putus tau rasa kalian!

Tring.

Aku merogoh ponsel di tasku.
Aku mengernyit heran. Biasanya aku mengheningkan notifikasi, tapi kenapa ini bunyi? Ah, mungkin aku lupa.

Satu pesan Whatsapp.

085xxxxxxxxx

Nadiyer...

Aku langsung berhenti. Mengeja lagi pesan yang kuterima dari nomor tak dikenal. Kubuka info kontak, tapi semua tak ada.

Aku menerka-nerka siapa orang ini. Ah, tapi tak mungkin.

Nadiyer, kamu hebat.

Aku melanjutkan langkahku, masih menggenggam ponsel. Sampai di kamar kost, aku merebahkan tubuh. Kubaca kembali pesan dari nomor itu. Aku bertanya-tanya dalam hati, kok bisa?

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang