Kemarin aku senang sekali, pasalnya namaku ada dalam daftar nama murid baru di sekolah favourit di kotaku.
Dulu, Enggi juga menginginkan namanya ada di sini. Katanya, ingin jadi ketua paskibra dan nanti dia akan jadi komandan pleton saat pengibaran dalam Perayaan HUT RI.
Nyatanya itu hanya ucapan saja. Realitanya dia memilih sekolah di luar kota. Di Taruna Nusantara.
"Nadira, tolong dukung impianku, ya! Aku ingin sekolah di sana, meskipun kita akan susah untuk bertemu."
Aku mendengus pelan sambil mengaduk es campur. Aku memandang sayu ke depan, meminta untuk tidak pergi pun percuma. Enggi akan tetap pergi. Apalah aku ini? Jelas cita-citanya lebih utama untuk saat ini. "Tapi kamu jangan sampai lupa ada aku di sini yang akan selalu nunggu kamu, Nggi!" Dia tersenyum. Manis sekali senyumnya, Ya Tuhan.
"Kemanapun aku pergi, tempat pulangku itu kamu."
Aku senyum malu, "Eleh, itu kalimat pasaran banget tau, Nggik! Yang lebih romantis, dong!"
"Yaudah. Nadira, kemanapun kakiku melangkah, tujuanku ya kamu. Tak usah khawatir, aku tau ketika aku harus menjaga hatiku dan matamu agar tak menangis karenaku."
"Huhu, Enggi! Boleh nggak sih keberangkatannya diundur," kataku memohon. Dia menggeleng, "Nggak bisa, Ra. Besok aku harus berangkat."
"Kamu belajar yang semangat ya di sekolah. Jadi siswi yang hebat ya! Aku juga akan semangat, terus lulus dan langsung masuk Akademi, kerja, dan datengin orang tua kamu."
Ya Allah, Enggi. Kalau kamu begini aku jadi berat melepasmu.
"Semoga semesta ikut meng-Aamiin-kan ya!"
Enggi menatapku dengan senyum manisnya. Sementara aku tengah tersipu malu. Dia selalu begitu, mengamatiku dengan senyum. "Jangan diliatin, dong!"
"Maaf, ya. Aku belum bisa buat kamu bahagia. Suatu saat, aku akan berikan kamu kebahagiaan yang sesungguhnya, Ra!"
"Enggi, aku pegang janji kamu. Ingat, kalau kamu memilih menghilang, maka jangan harap kamu bisa temukan aku lagi. Nadira yang ini beda dari perempuan lain. Kamu akan merindukanku pokoknya!" Dia terkekeh lalu bangkit untuk membayar dua gelas es campur.
"Naik, aku antar pulang!"
***
Rasanya berat sekali harus berjauhan dengan Enggi. Komunikasi pun hanya satu minggu sekali. Ah, nggak suka!
Selama aku dan Enggi tak berkomunikasi, Mamanya Enggi sering mengirimiku pesan sekedar menanyakan kabar sampai selalu menyuruhku untuk main ke rumahnya.
Sering kutolak dengan alasan sedang sibuk kegiatan sekolah. Di sekolah, aku menepati ucapan Enggi. Aku ikut Osis.
Mamanya Enggi itu baik sekali. Sampai saat ini, beliau tahu hubunganku dengan Enggi adalah sahabat. Tapi, ya beliau juga menaruh harap agar kami bisa lebih dari sahabat. Parahnya lagi, dia pernah menyebutku 'Calon menantu' di depan teman-temannya.
"Nadira bisa masak, Sayang?" tanya Mama Enggi. Aku tersenyum, "Bisa tapi nggak bisa."
"Loh, maksudnya?"
"Nadira bisa masak, Mama. Tapi masakan sederhana."
Mama Enggi terkekeh, "Memang mewah seperti apa?"
"Rendang, dan makanan tradisional lainnya Nadira belum bisa hehe."
Mama duduk di meja makan, lalu aku mengikutinya. Kemarin beliau memaksaku untuk mampir ke rumah. Alhasil, aku menuruti permintaannya.
"Bisa bedain rempah-rempah nggak, Sayang?"
Aku semangat untuk menjawab yang satu ini. "Bisa dong, Ma! Kalau bedain jahe sama kunyit, lada sama merica, Nadira jago hehehe. Yang susah itu kalau suruh nebak nama ikan, Ma. Nadira nyerah untuk satu itu."
Mama terkekeh mendengar kalimatku, "Kenapa nggak bisa bedain ikan?"
Aku tertunduk lesu, "Ya habisnya semua ikan itu sama bagi Nadira. Yang bida Nadira bedain cuma ikan lele, Nila, Tongkol, Gurame, udah itu aja, Ma. Nadira nggak pintar ya, Ma?"
Mama Enggi malah menaikkan taraf tertawanya. Lalu berhenti, mengelap air di sudut matanya. "Nanti lama-lama juga bisa, kok. Oh iya, Enggi paling nggak suka sama Ikan Tongkol. Nanti kalau udah serumah sama Enggi, jangan masakin ikan Tongkol ya!"
Serumah? Maksudnya kalau aku dan Enggi menikah? Haduh, Ma plis jangan buat aku baper di sini. "Ehhh Nadira juga nggak suka ikan tongkol, Ma. Ih sama kek Enggi!" ucapku heboh sekali sampai membuat Mama Enggi tertawa lagi.
Mama berdiri dari duduknya, menuju kulkas lalu mengeluarkan sayuran. "Sini, bantu Mama masak capcay ya!" Aku mendekat ke meja kabinet milik Mama lalu memindahkan sayuran di wadah untuk kubasuh.
Aku membantu Mama untuk memotong wortel dan brokoli. Sementara Mama menyiapkan bumbu capcay. Setelah selesai, Mama memintaku untuk menggoreng tempe di kompor sebelah. Dengan senang hati, aku melaksanakan tugasku.
"Pakai tepung, Ma?" Tanyaku pada Mama. Takut-takut aku melakukan kesalahan. "Nggak usah, Nak. Dibalur air garam aja."
"Nadira di rumah juga begini, Ma. Kalau buat lauk, tempenya tanpa tepung. Kata Sepupu Nadira yang lulusan Ilmu Gizi, kalau dikasih tepung gizinya jadi berkurang."
"Oh iya? Berarti selama ini Mama benar ya hehehe."
Kumasukkan tempe yang sudah kupotong persegi ke wajan berisi minyak panas. Ini sih pekerjaan mudah bagiku. Ibu selalu mengajariku berkutat di dapur. 'Apapun pekerjaanmu nanti, kamu akan kembali ke dapur. Dengar Ibu, jangan sampai anak-anakmu kelak tak merindukan masakan Ibunya. Malah rindu masakan pembantu, kan bahaya,' begitulah ucapan Mama ketika aku berdalih malas untuk masak. Karena aku dulu berpikir akan hidup di jaman moderen, dimana perempuan tak wajib lagi di dapur.
"Nadira, Enggi sering nelpon kamu nggak?" tanya Mama tiba-tiba saat sedang memasukkan capcay di mangkuk. Aku menggaruk kepalaku yang tertutup kerudung, "Ehm seminggu sekali, Ma. Tapi aku selalu bilang ke dia kok untuk nelpon Mama dulu."
"Iya. Dia juga nelpon Mama satu minggu sekali. Dengar baik-baik, lebaran besok dia pulang, Nak! Senang?"
Aku langsung riang. "Benaran, Ma? Ya Allah aku senang banget!" Aku berlonjak memeluk Mama. Sementara Mama Enggi hanya bergeleng-geleng sambil tak lepas dari bibir yang membentuk senyum itu.
"Kalau lagi LDR, kuncinya saling percaya. Kalau Enggi bohongin Nadira, bilang sama Mama ya biar Mama marahin. Enak aja calon menantu Mama mau dibohongin."
Blush. Yakin ini pipiku pasti merah jambu.
"Ma, apaan sih? Nadira malu," kataku menelungkupkan wajahku di meja makan. Mama tertawa melihat tingkahku.
"Yaiyalah, siapa lagi calon mantuku kalau bukan Nadira?"
Ya Allah rasanya malu tapi ada senangnya.
Sesudah shalat Ashar, aku pamit pulang. Kebetulan hari ini hari sabtu, jadi aku pulang siang dari sekolah. Berganti pakaian sebentar, lalu langsung menuju rumah Enggi.
Selama perjalanan pulang, bibirku tak henti-henti mengulas senyum. Rasanya bahagia sekali hehehe.
"Ngapa itu senyum-senyum dari rumah Calon Mertua?" Aku yang baru saja memasukkan motor di garasi, langsung menatap Ibu. "Ih apaan sih, Ibu?" Si Ibu malah senyam-senyum mengejekku.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
RomanceCinta pertama itu memang sulit dilupakan. Meskipun sudah banyak kali terluka, tapi tetap saja menggemakan kata cinta. Nadira, bukan karena bodoh dia bertahan. Tapi karena cinta! Berulang kali ia dipatahkan, namun cinta menjadi alasan untuk tetap ber...