Apa kita musti dipermainkan oleh keadaan sebelum benar-benar sampai pada titik bahagia? Rasanya seperti dipermainkan. Kadang, semesta memang suka becanda, ya?Semudah itu aku duduk di sini. Menatap pramusaji memakai apron warna hitam, dengan kacamata hitam. Seperti sengaja untuk menghibur pengunjung. Setiap langkahnya dibarengi senyum, lalu meletakkan satu nampan paket makanan dengan hati-hati.
Dengan sekali petikan jari, datang satu pelayan lagi. Kali ini pakai baju hampir mirip pramugari. Batik mega mendung dipadu dengan warna soft pink. Bibirnya diombre dengan lipstik yang tidak murah. Terbukti melekat sekali dengan bibir.
Satu cembung air lemon, ah bukan. Ini mirip infused water, cuma buahnya sudah musnah. Dua gelas kaca berbentuk tabung, diletakkan di samping cembung.
Pelayan ayu itu kembali ke tempatnya, dari belakang terlihat bokongnya lenggak-lenggok menampakkan sisi anggun sebagai wanita. Ah, mata para lelaki merasa disuapi dengan itu.
Ternyata ada yang tertinggal. Pramusaji pakai apron hitam tadi kembali datang ke meja, meletakkan satu tangkai mawar berduri warna merah merona. Gelas kaca diisi air, lalu ditancapi mawar. Kukira cukup, ternyata tangannya meletakkan lilin aroma di samping gelas berisi mawar. Begitu api menyala, menyeruak wangi jasmin. Langkahnya berbalik, setelah menangkupkan kedua tangan padaku.
Pelayanan di cafe ini luar biasa membuatku tercengang. Seperti sedang menerima tamu sepasang pengantin baru yang memilih tempat ini menjadi destinasi honeymoon. Ah, cukup gila kalau dibayangkan.
Alunan musik mulai terdengar. Awalnya lirih, lama kelamaan lumayan keras, tapi tak sampai mengganggu. Tetap tenang, ditambah lampu utama yang mulai redup menyisakan udara dari lilin. Satu tangan di depanku merayap, mencari punggung tanganku untuk ditimpah. Buru-buru kutarik kedua lenganku, masuk dalam kantong depan hoodie navy yang kupakai malam ini.
Dia tak bereaksi terkejut, malah menatapku dengan senyuman. Aku tau, itu senyuman biasa dia berikan ke perempuan lain juga.
Makan malam romantis, harusnya aku mengkui ini. Tapi, suasananya malah membuatku bergidik jijik. Suasananya tak akan rusak jika saja orang di depanku bukan Enggi.
"Ini semua nggak bisa mewakilkan perasaanku ke kamu," waw! Mulutnya manis sekali.
Yang terdengar di telingaku hanya suara piano, aku tak paham judulnya apa. Cuma terasa nyaman di pendengaran, membuatku memejamkan mata.
"Dira, kumohon... Jadilah kekasihku."
Aku menarik tangan kananku dari saku, kukibaskan di depan wajahnya. Dia mengerutkan dahi. "Nggak bisa, Bung!"
Kusilangkan kakiku, kaki kiri menimpa paha kiri. Sebelumnya kubenarkan posisi rokku agar tak terbuka.
"Kenapa, Dir? Apa karena malam itu?" Tangannya menumpuk di depan dada, mirip gaya anak SD kelas satu saat diperintah untuk duduk anteng. Ah, ya ampun aku lupa. Dia dulu teman SD ku.
"Salah satunya. Aku pernah melabuhkan hatiku padamu, tapi kamu putus tali yang mengikat kapalku. Sekarang aku sudah jauh terbawa ombak, bisa jadi aku terombang-ambing di tengah lautan, sulit untuk kembali di dermagamu."
Semesta mengerjai kami lagi. Hujan datang tanpa tanda, langsung mengguyur. Mirip air dalam ember yang langsung disiramkan di atas kepala kami. Atau... Mirip wahana air.
Tak kusadari, tanganku ditarik Enggi. Meneduh di pondok sebelah paviliun yang sudah disewa orang. Padahal seru sekali makan malam di tempat terbuka dengan lilin, pengalaman pertama bagiku.
Enggi mendesah menyalahkan hujan. Kalau saja hujan tak datang, mungkin mulutnya akan lancar mengucap kalimat manis tapi bualan.
"Hujan kali ini apa yang kamu ingat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
RomansCinta pertama itu memang sulit dilupakan. Meskipun sudah banyak kali terluka, tapi tetap saja menggemakan kata cinta. Nadira, bukan karena bodoh dia bertahan. Tapi karena cinta! Berulang kali ia dipatahkan, namun cinta menjadi alasan untuk tetap ber...