Jangan Terlalu Lama~

1.1K 115 25
                                    

Sekelibat cahaya menyelinap masuk melalui ventilasi atas jendela, yang gordennya masih belum kusibak. Melirik sekilas satu bungkus nasi yang tergeletak, lupa belum dibuang di tong sampah. Kupungut, lalu kulempar gemas.

Berdeham sebentar, memastikan suaraku baik-baik saja setelah semalam kembali mengurai air mata. Menilik kejadian perih, yang selalu menguras air mata. Ah, terlalu sukar untuk dibuang dari memori.

Sampai kapan aku terus dihantui rasa bersalah. Kutatap kaca spion, menampilkan wajahku. Tidak banyak kupoles, cukup lipstik di bibir. Menarik gas pelan, keluar dari komplek. Kupastikan, hari ini adalah hari yang indah. Sugesti dalam hidup itu perlu, kan?

Satu yang berhasil kukalahkan. Mengendarai sepeda motor tanpa keringat dingin. Ya, aku percaya diriku hebat. Mampu mengalahkan traumaku sendiri.

Kalau aku nggak memuji diriku sendiri, aku akan terperosok dalam depresi yang berkelanjutan.

Jalanan tak seberapa padat, bersama udara yang menyapu debu jalanan. Nyelonong masuk ke pelupuk mata, membuatku mengerjapkan berkali-kali. Helm di kepalaku terasa berat, ah rupanya kepalaku yang sedang pusing.

Disambut dengan senyum ramah teman-teman studio, disapa bak tamu istimewa. Tapi tetap saja, aku sulit untuk berbaur dengan mereka.

Kubaca script yang telah disiapkan. Mengulang-ngulang dalam hati, mempersiapkan persembahan yang terbaik.

"Dir, bukan yang itu," suara salah satu rekan kerja pria mengingatkan. "Kamu ngisi talkshow, baca di atas meja depan."

Ah, iya.

Pembangunan Sekolah Baca oleh Batalyon Infanteri 133/ Yudha Sakti

Membuang napas berat. Harus menahan keringat, berhadapan dengan salah satu pemilik baju loreng.

Ah, sial.

Degub jantungku mulai tak beraturan. Ingin mengundurkan diri, tapi ini tanggungjawab. Yah, aku bisa.

Suara pria di depan mulai berisik. Masuk dengan mengucap salam, lalu kupersilahkan duduk di kursi di depanku.

Sebelum mulai, kutanyakan beberapa pertanyaan untuk memperlancar jalannya talkshow.

Kutulis nama mereka di kertas yang kupegang, kutatap satu-satu memastikan.

Satu tarikan bibir, membentuk senyum setengah dipaksa. Kuberikan pada mereka, memulai pembicaraan. Satu pasang mata yang menatapku, sampai masuk ke anak mata. Membuat jantungku ingin lepas.

Profesional.

Profesional.

Profesional.

"Jadi, pagi yang cerah ini kita kedatangan tamu agung. Bapak-bapak Abdi Negara, wih luar biasa kece!"

Kucoba memainkan pita suara, mengeluarkan kalimat tanpa getar ketakutan. Sedang dalam otakku terus terngiang, mengingat Enggi yang akhirnya membuatku mengingat Angga.

Angga...

Tak bisakah kamu hilang dari memoriku? Aku ingin damai.

Empat puluh lima menit terasa lama. Lebih lama dari dua puluh empat jam. Separah inikah aku?

Dia kembali. Mengikutiku masuk di ruangan pekerja tanpa aba-aba. Berdiri menghadang pintu, sampai tak ada ruang yang bisa kulalui.

Tatapannya tajam, bertambah seram dengan loreng yang melekat di badannya. Tentu saja keringatku mengucur, jantungku tak normal, kugigit pipi bagian dalam demi menetralkan rasa takut.

Kejadian itu benar-benar membuatku takut pada masa lalu. Tentang apapun di masa lalu, aku tak bisa mengingatnya tanpa rasa takut. Termasuk lelaki di depanku ini. Bukan siapa-siapa, tak berperan penting di masa lalu, tapi bisa membuatku ketakutan.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang