Nadiyer

1K 98 6
                                    

Menyusun skripsi ternyata butuh kemauan yang besar, ya. Sama seperti menggarap novel, butuh ketenangan.

Luar biasa untuk mereka yang sudah menyelesaikan skripsinya. Kak Galang, manusia sibuk itu juga sukses diwisuda. Mbak Irma, memang rajin. Tapi sayang, dia tak sempat ikut wisuda.

Mereka--Kak Galang dan Mbak Irma terakhir kudengar kabar sudah lamaran. Tiga bulan lagi, menyatukan dua jiwa dalam ikatan pernikahan. Aku turut bahagia.

Butuh asupan, untuk menyegarkan diri kembali, aku memilih pulang kampung. Setelah dua tahun terakhir tak pulang, rasanya ada yang kurindu. Sangat.

Atap kamar yang selalu kutatap sebelum tidur. Angin santai yang nyelonong masuk lewat ventilasi, menambah inspirasi.

Tempat ramah yang bersedia menjadi kampung kelahiran. Menyajikan pelukan hangat saat diri sedang lelah. Tentu karena Ibu, perempuan yang setia menunggu di ambang pintu sambil merentangkan tangan untuk menyambutku.

Kampung ini, mengingatkanku pada sosok yang pernah singgah di hati. Kelembutannya menghanyutkanku, terbuai akan kalimat cinta dari mulut manisnya.

Aku tak sepengecut itu ragu untuk pulang. Di sini rumahku, tak peduli kenangan apa yang menggenang. Tak peduli juga ada siapa di sini. Ini rumahku, tempatku pulang.

Di persimpangan jalan, ketika kakiku berjalan mencari kenyamanan di pagi hari. Lelaki tegap berbaju cokelat menyunggingkan senyum. Bisa-bisanya penjahat itu tersenyum seolah menyamar jadi penyelamat.

Aku buru-buru, tapi tanganku sudah dicekal. Kulepas paksa, sampai memekik.

"Nadira, jangan pergi."

Aku pernah berjanji untuk tetap tinggal di sisimu, tapi nyatanya kamu yang mengikis. Kita pernah sama-sama mengikat janji, bersama dalam keadaan apapun.

"Aku minta maaf,"

Di depan tugu perbatasan kampung, aku berdiri dengan kepala menunduk.

"Tatap aku, aku tau rasa kita masih sama, Dir."

Aku tertawa dalam hati. Bodohnya aku, disakiti olehnya, tapi tetap berdegub di dekatnya. Enggi, kenapa harus dia yang menjadi cinta pertamaku?

"Dir, jangan diam. Aku nunggu kamu bicara."

Sakit. Menatap Enggi hanya berbuah pilu. Dari matanya, tak kutatap cinta lembut lagi. Yang ada hanya bayangannya sedang menggandeng perempuan lain.

"Aku nggak mau lihat kamu. Sakit!"

Enggi luruh di aspal. Ia bersimpuh, menyatukan kedua telapak tangannya. Bak menyembah ratu sejagat. Matanya menatapku dari bawah, membuatku merasakan detak yang tak biasa. Ah, sialnya rasa ini terus ada untuk bajingan di depanku ini.

"Aku tau, Nadira. Aku minta maaf, tapi kamu tetap yang kucari dan yang kuingin."

"Terus kenapa kamu tega khianatin aku? Kenapa, Nggi? Kamu nggak rasain gimana jadi aku!"

Andai dia berada di posisiku, pasti akan merasakan sakitnya dikhianati orang yang paling Kita cinta.

Aku menggerutu, menyalahkan hatiku sendiri. Masih saja menyimpan rasa untuk orang yang tak pernah peduli perasaanku.

"Aku khilaf,"

Aku tertawa keras di depannya. Tertawa, tapi hatiku menangis dalam diam. Bisa-bisanya dia mengatas namakan khilaf sebagai tameng.

Enggi menatap mataku dalam, "Aku akan perbaiki semua, Nadira. Aku akan mencoba mewujudkan mimpi kita dulu. Selalu bersama apapun kondisinya."

Bualan!

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang