Aku mendongak, terik mentari langsung menusuk penglihatanku. Siang ini begitu panas. Tiga tegukan air mineral dingin pun tak menghilangkan dahaga.
Aku menunduk, melihat dua kakiku yang menggesek paping. Mainan. Ya, segala yang ada pada hidupku hanya seperti sebuah permainan. Semua bebas masuk, lalu keluar tanpa harus menerima sangsi. Tapi, bedanya sakit ini nyata.
Seringkali aku menoleh kanan-kiri, depan-belakang, hanya untuk memastikan apakah dia benar-benar hilang?
Bodohnya, aku sempat berhayal bahwa dia akan lari mengejarku sampai ke sini. Dan... Mencegahku untuk pulang. Tapi, segera ditampar oleh realita. Kenyataannya dia memang benaran pergi. Haha. Hayalan karena sering menonton film romance, yang dikejar sampai bandara.
Selamat tinggal kenangan. Setelah surat itu datang padaku, saat itu itu pula hatiku dihancurkan. Kali ini saja, aku tak akan peduli dengan diriku. Tak mau memperjuangkan kondisi hatiku. Barangkali, lelaki pilihan Ayah memang ditakdirkan untukku.
Sampai detik ini pun aku belum mengenalnya. Melihat fotonya saja aku belum pernah. Biarlah. Jika memang dia untukku, tetap akan jadi milikku 'kan?
Kelemahanku adalah selalu pergi dari kota yang menyimpan kenangan. Tapi kali ini aku akan tetap bertahan. Rasanya capek sekali harus pindah kerja, menyesuaikan diri dengan lingkungan baru lagi. Untuk kali ini, aku akan kembali lagi. Pulangku untuk memenuhi janji, bertemu dengan lelaki pilihan Ayah. Bahkan, mungkin akan kembali ke perantauan setelah gelarku berubah menjadi seorang istri.
Aduh. Hanya membayangkan saja, hatiku seperti diremas. Bagaimana bisa aku memulai hidup dengan lelaki baru sedangkan di hatiku ada namanya. Meskipun samar.
***
Dengan perasaan campur aduk, aku melangkah mendekat pintu rumah tempatku dilahirkan. Ah, pagar ini. Dulu Enggi sering menemuiku di sini. Enggi, cukup sampai di sini kenangan denganmu masih suka menyelinap.
"Assalamualaikum,"
Belum sempat mengetuk lagi, Ibu sudah membukakan pintu. Senyumnya melebar, lalu merengkuhku. Nyaman.
Ya ampun. Ternyata rumah ini tetap menjadi tempat ternyaman untukku.
"Waalaikumussalam, Putriku."
Aku menghela napas berat, lalu melangkah masuk. Terus masuk sampai kamarku, dan melemparkan tubuh ke atas ranjang.
Masih tetap rapi. Siapa lagi kalau bukan Ibu yang selalu membereskan selama kamar ini tak berpenghuni.
Begitu aku membalikkan badan, menelusupkan wajah ke bantal, ada sesuatu yang membuatku bingung. Bantal ini wangi parfum. Parfum pria sepertinya.
Aku langsung bangun, dan menatap lekat-lekat bantal ini. Abang? Tapi parfumnya bukan ini.
"Ibu!" Aku langsung lari keluar kamar. Terlihat Ibu tergopoh-gopoh menghampiriku, masih menggunakan celemeknya.
"Heh kenapa?"
"Siapa, Bu?"
Ibu bingung.
"Siapa yang tidur di kamar Nadira? Kok bau parfum sih bantalnya?"
Ibu menghela napas, "Healah kirain ada apa. Heboh banget!" Berjalan kembali ke dapur. Aku mengekorinya, butuh jawabannya.
"Siapa, Bu? Kok tidur di kamar Nadira?"
"Gasha."
Aku mengernyit, "Hah? Siapa dia? Kok baru denger namanya?"
"Anaknya temen Ayah. Udah sana, tidur aja istirahat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
RomanceCinta pertama itu memang sulit dilupakan. Meskipun sudah banyak kali terluka, tapi tetap saja menggemakan kata cinta. Nadira, bukan karena bodoh dia bertahan. Tapi karena cinta! Berulang kali ia dipatahkan, namun cinta menjadi alasan untuk tetap ber...