"Mau kamu apa, sih?"Langit malam selepas hujan warnanya tetap sama seperti malam kemarin. Gelap, lebih gelap karena mendung yang tersisa. Mungkin.
Di depan pagar, aku terpaksa berhenti. Mendengus kesal, menghentakkan kaki kanan yang membuat meringis sakit karena terlalu berlebihan.
"Mau kamu!"
Perutku seperti digelitik, geli sekali. Berharap ada satu mobil yang melaju cepat dan menubruk badan tegapnya. Ketika tergeletak di aspal, biar kutinggal pergi saja. Menyusahkan. Ah, astaga. Jahat sekali imajinasiku.
"Gila!"
Dia cuma menyengir sambil berkacak pinggang. Sudah bisa ditebak gimana sombong dan angkuhnya dia. Kedua alisnya dinaik turunkan, mencoba menggoda? Oh, tidak bisa! Sekalipun segerobak mawar dia usung kemari, aku tetap melotot kesal!
"Pengangguran ya, lo? Nggak ada kerjaan lain selain ngikutin gue?"
Kalau dia orang waras, pasti akan menjauh dariku setelah kubentak keras begini. Meski setelah membentak, aku cemas. Membentak dan dibentak, mengapa sangat menyebalkan?
Di tengah mata melotot, aku ingat belum dapat kembalian dari grabcar tadi. Ya ampun, uang lima ribu gue hangus coy!
Ini semua gara-gara Reyfan sialan. Kalau aja dia nggak menghadang di depan pintu, pasti aku nggak bakal nerobos keluar tanpa nunggu kembalian. Emang, dia selalu merugikan.
"Kerjaan saya ya ngikutin kamu."
Cih! Lelaki dengan segala bualannya aku paham banget.
Suasana sehabis hujan yang menjadi waktu indah buatku, malah jadi suram malam ini. Oh, bulan... Buang orang di depanku ini!
"Udah sana masuk! Tugas saya cuma nganter kamu sampe depan gerbang dan memastikan kamu baik-baik aja."
Tahi kucing!
Srokkkkk
Suara gerbang didorong memang sedikit bising. Tak sedap pula. Ah, moodku semakin rusak malam ini.
Kost sudah sepi. Apa mungkin aku yang pulang paling larut? Ah, tidak. Ada satu sendal yang tak ada di rak sepatu depan kamar kost. Kamar pojok dekat dapur, pasti orang itu sedang keluar.
Kuhempaskan tubuhku di atas kasur. Basah, lengket, tapi malas mau mandi. Kalau langsung tidur, jelas nyenyak sekali. Aku bukan orang yang nggak bisa tidur dalam keadaan belum mandi. Keadaan apapun, kalau sudah lelah tingkat sepuluh juga langsung nyenyak.
Benar, kan. Kalau nggak ada suara telpon, aku sudah pasti masuk ke alam tidur dengan aman.
Kuambil asal ponsel di dalam tas, belum sempat kukeluarkan.
Nomor tak dikenal.
"Selamat tidur, Nadiyer. Suka keputusanmu. Lebih baik menolak, daripasa kamu nanti tersakiti lagi. Udah, ya. Selamat tidur."
Tut..tut.tut..
Dimatikan sepihak. Aku curiga suara itu. Seperti tidak asing, tapi siapa?
Kuurungkan niat untuk tidur. Aku melepas hangatnya selimut dan guling, lalu beringsut duduk mendekat meja. Laptop kubuka, kutekan tombol power.
Dengan memasukkan kata sandi, aku bisa berseluncur di dunia keduaku. Dunia yang ku desain warna biru dengan awan putih mirip kapas. Sialnya, tak bisa kulihat nama-nama pengguna yang mengunjungi duniaku ini.
Dan satu. Aku belum menceritakan tentang Enggi yang mengajakku kembali. Tapi, kenapa anonim yang menelepon tadi tau? Siapa dia?
Dret...
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
RomanceCinta pertama itu memang sulit dilupakan. Meskipun sudah banyak kali terluka, tapi tetap saja menggemakan kata cinta. Nadira, bukan karena bodoh dia bertahan. Tapi karena cinta! Berulang kali ia dipatahkan, namun cinta menjadi alasan untuk tetap ber...