Gila! Kayak gini ya rasanya patah hati? Mau ngapa-ngapain malas, cuma nangis di atas bantal yang paling nikmat.Mungkin kalau Mbak Irma nggak menggedor pintu kamar, aku belum bangun juga. Ternyata nangis semalaman itu nguras tenaga, sampai aku bangun kesiangan.
Parahnya lagi, aku shalat subuh jam delapan pagi. Dobel sama dhuha kali!
Kepalaku rasanya pusing, suaraku serak, apalagi bagian wajah. Oh no! Siapapun akan menertawakanku. Mata bengkak, bibir jedir kayak abis ditonjok. Segitunya ya?
"Dir, kamu nggak ada acara?" Suara Mbak Irma dari balik pintu. Aku menggerutu, acara apa? Lagi sakit hati berlapis-lapir acara yang cocok ya cuma nangis!
"Dir? Masih shalat, ya?"
Tadinya aku nggak mau shalat karena udah kesiangan, tapi Mbak Irma mengingatkanku agar tetap shalat. Dan aku ingat pelajaran agama saat SMA dulu, kalau kesiangan lakukan shalat saja jam berapa pun kita bangun.
"Dir?"
Sekali lagi, Mbak. Dapat piring cantik kau!
"Apa, Mbak?" Mbak Irma melongo di depan pintu yang kubuka dengan tiba-tiba.
"Wajahmu ngapa? Dicium lebah?"
"Apa, Mbak? Kalau nggak penting, aku mau lanjut bobok!"
"Eit, bentar. Kamu lagi patah hati ya? Kata teman-temanku kalau abis berantem sama pacar, suka nangis semalaman."
Pengin deh kututup pintu kuat-kuat di depan Mbak Irma.
"Makan, udah belum?"
Perutku langsung bunyi. Ya Allah, ternyata aku lapar juga.
"Tuh, pada demo. Ikut makan keluar yuk!"
Aku melotot, "Mbak! Liat nggak mukaku kayak mana sekarang? Mending aku deliv aja."
Mbak Irma tertawa. Gampang banget orang ngetawain orang lain. Heran gue!
"Mandi, pakai bedak, fondation dikit buat nutup mata sembab kamu, terus ikut Mbak. Mbak tungguin sampai kelar, mau luluran juga nggak apa."
"Mau makan apa sih?"
Mbak Irma mengerling, "Udah, asli dijamin damai."
Oke, kayaknya jalan sama Mbak Irma lumayan juga.
Mbak Irma memang paling sabar. Nungguin aku mandi dan siap-siap hampir satu jam. Lop yu deh Mbak Ir!
Aku keluar kamar, nyelonong masuk ke kamarnya yang pintunya nggak ditutup. Dia lagi nulis sesuatu di laptop, mungkin lagi garap skripsi. Matanya langsung menatapku, terus tertawa.
"Nah gitu kan mending!" katanya.
Mbak Irma membereskan laptop dan setumpuk buku di sampingnya. Lalu menyambar tas di atas kasur, dan menggandengku keluar.
"Mbak, pesan grabcar?"
Belum ada jawaban, mobil toyota yaris sudah meluncur di depan kami.
Selama di perjalanan cuma Mbak Irma yang menanggapi pertanyaan driver. Aku? Malas lah! Lagi patah hati emang malas ngapa-ngapain, coy!
"Mbak, ini rumah siapa sih?" Aku masih ingat katanya tadi ingin mengajakku makan. Nyatanya malah berhenti di depan rumah berdinding hijau.
"Bukan itu, Dir. Kita mau ke sana." Mbak Irma menunjuk pondok makan di dekat sawah.
Pondok makan dengan atap alang-alang, tidak ramai pengunjung. Mbak Irma mengajakku di pondok yang terpencil, mencelat di tengah sawah. Ini berasa lagi jaga sawah!
KAMU SEDANG MEMBACA
NADIR
RomansaCinta pertama itu memang sulit dilupakan. Meskipun sudah banyak kali terluka, tapi tetap saja menggemakan kata cinta. Nadira, bukan karena bodoh dia bertahan. Tapi karena cinta! Berulang kali ia dipatahkan, namun cinta menjadi alasan untuk tetap ber...