Boleh Lepas

1.2K 125 27
                                    


Bahkan rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, tidak lagi kurasakan.

Tidak apa-apa. Semua pasti berlalu dan akan baik-baik saja. Kalimat yang selalu kuulang dalam otak, menyugesti diri sendiri.

Enam bulan menjadi bulan indah untum keluargaku. Kak Wira yang akhirnya berhasil meminang gadis, lalu dipersunting dijadikan istri.

Perempuan berhijab merah jambu dulu, ternyata bukan takdir Kak Wira. Telah dipersunting perwira polisi, mendahului niat baik kakak.

Ternyata, kami sama-sama pernah sakit. Aku dilukai Enggi, dan kakak ditinggal oleh pujaan hati.

Kini ia telah melabuhkan hatinya pada perempuan cantik dan baik hati, Mbak Asfa namanya. Perempuan berdarah jawa yang bersedia mengabdikan diri pada suami, meninggalkan rumah orang tua untuk hidup sederhana di asrama. Apalagi, medan jauh sekali dengan Kebumen.

Aku belajar dari kisah mereka, bahwa semua akan indah pada masanya. Sama-sama terluka, bersatu untuk saling menyembuhkan. Mbak Asfa yang juga pernah batal taaruf, akhirnya dipersatukan dengan Kak Wira yang telah mengikrar janji untuknya.

Ramadhan. Ah, mengingatkanku pada Enggi lagi. Entah, aku tak pernah mau tau kabarnya.

Dirundung pilu lagi. Lelaki yang tanpa kusadari telah mengetuk pintu hatiku yang sudah berkarat, benar-benar menepati janjinya.

Memintaku pada Ayah. Ah, bukan. Lebih tepatnya pada Kak Wira. Ayah sedang berada di luar kota, bersilaturahim dengan rekannya.

Ini yang kuterka sejak dulu. Kenyataan bahwa Kak Wira melarangku memiliki hubungan dengan kalangannya.

"Kamu berani dekati adik saya?" Wajahnya sudah garang. Aku dan Mbak Asfa cuma bisa menguping dari ruang keluarga.

"Kalau dia jodohmu, Allah akan mempersatukan bagaimanapun caranya." Mbak Asfa memang selalu memberiku kalimat positif.

Di hari yang masih disebut raya ini, dia datang. Berbekal tekad, datang sendiri mengucapkan inginnya. Tapi, yang didapat hanyalah tatapan sangar dari Kak Wira.

"Bukan berarti kamu tentara, punya pangkat, kamu bisa gampang dekati adik saya! Dia permata saya dan keluarga ini, sekali kamu gores, mati kamu di tangan saya!"

Tolong, Kak Wira. Dia hanya meminta baik-baik.

"Izin, saya akan berusaha untuk mendapat restu dari Abang. Saya akan membuktikan kesungguhan saya untuk meminang Nadira."

Suaranya beda. Tegas, tidak teriak tapi terasa lantang. Enam bulan ini aku tak bertemu dengannya, bahkan saat ini pun tetap tak bisa. Kak Wira melarangku menemuinya, benar-benar posesif.

Sepertinya pintu hatiku memang belum saatnya dibuka, setelah sekian lama tergembok. Ada satu tangan yang mencoba membuka gembok itu, tapi kini ditarik oleh kenyataan bahwa dia tak boleh mendekat.

Atau... Ini adalah jawaban terbaik. Dari aku yang pernah terluka dan belum sepenuhnya sembuh, tak mungkin menerima nama baru untuk kuukir dalam hatiku. Jika akhirnya dia hanya menjadi pelampiasan lukaku. Yah, mungkin ini lebih baik. Tetap sendiri, menyembuhkan luka hati yang semoga segera pulih.

Atas nama cinta yang mulai tumbuh, kurelakan dia pergi lagi. Kulepas dari harap, biar akhir yang menentukan. Kuputar cincin paja miliknya, kumainkan di jari manis. Haruskah kubuang saat ini? Seperti katanya waktu itu, dibuang ketika aku tak bisa direngkuh olehnya.

Berat. Rasa ini tiba-tiba menjadi pekat ketika ada sekat di antara kita. Dulu, aku tak peduli. Bahkan, rasa ini seperti tak pernah ada untuknya. Tapi kenapa ketika aku dan dia tak bisa bersanding, rasa ini membuih?

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang