Ramadhan dan Enggi-ku

2K 123 4
                                    



Bulan suci telah hadir menyapa kita. Sebulan penuh menahan hawa napsu, puasa dari mulai terbit fajar hingga tenggelam. Belajar ikut merasakan dan prihatin menahan lapar, seperti apa yang dirasakan orang-orang yang tak bisa makan.

Setelah sahur, aku duduk santai di sofa ruang tamu. Tangan kanan memegang ponsel, berselancar di dunia facebook.

Selamat sahur, Nadira. Masih sanggup puasa hari ini?’

Enggi! Dia mengirimiku pesan. Langsung deh bibirku melengkung, membentuk sabit.

Yaiyalah, Enggi. Aku puasa. Kamu? Puasa lah, wajib! Oke Pak Ustad?’

Selang tiga pulu detik, dia membalas. ‘Puasa. Dan selalu mengagumi orang yg sama.’

Jadilah Nadira yg kukenal, ya! Apapun yg terjadi, semoga kita tetap bersama. Ramadhan ini saksi bahwa aku pernah bilang ke semesta kalau aku suka sama kamu. Kenapa musti ramadhan yg mnjadi saksi? Karena aku ingin kamu ingat kisah kita setiap tahunnya. Selamat puasa, Nadir. Aku shalat subuh di masjid dulu, ya.’

Astaga! Jantungku langsung maraton. Enggi, kamu selalu berhasil membuatku tersipu. Sayang, Nggi kita beda sekolah.

Aku menaruh ponselku di meja dekat televisi, lalu berlenggang ke belakang untuk berwudhu. Selalunya begini, jika Enggi pergi ke masjid aku pun langsung shalat subuh juga. Enggi, kamu memang terbaik. Kamu lelaki yang berhasil membuatku berbunga setiap saat.

Aku melepas mukena, menyampirkan di tempat biasanya. Rasanya ramadhan ini semangat sekali. Ada Enggi yang selalu menemaniku.

“Nadira, kamu nggak sekolah?” Ibu meneriakiku. “Iya, Ibu Nadira mau mandi sekarang. Tenang, jangan marah-marah dulu. Santai!”

Ibu selalu begitu. Powernya dalam meneriakiku mantap sekali. Memang salahku, sih. Selalu menunda pekerjaan, hingga membuat Ibu gemas. Kalau Ibu sudah mengeluarkan suara menggelegar, barulah aku gesit.

Semangat sekolah, Nadira. Bentar lagi bagi raport, kan? Kabar baik deh aku tunggu.’

Oke, siap Enggi. Siap lahir batin untuk selalu semangat. Aduh, apaan sih? Ini kayaknya aku udah bucin banget sama Enggi. Maaf, ya semesta dulu aku pernah bilang kalau bucin itu nggak enak. Tapi sekarang, Enggi membuatku hilang prinsip.

***

Nadira, jangan tutup pintu ya sore ini. Bentar lagi ada Mbak-Mbak bakal anter sempol ayam. Semoga kamu suka. Selamat berbuka.’

Ya Allah. Enggi kenapa, sih kamu selalu buat aku begini? Rasanya seperti orang paling bahagia sedunia ini. Gila! Segala tingkahmu berhasil membuatku luluh.

Tak lama dari pesan Enggi, suara klakson motor terdengar. Aku langsung lari ke depan. Benar! Mbak cantik pakai kerudung hitam diikat di leher memberiku senyum manis. Dia mendekat, mengulurkan sekantung plastik putih. “Ini dari lelaki yang akan membersamaimu,” katanya. Aku menggaruk kepala dibalik kerudung. “Ih, apaan sih Mbak?”

“Mbak Cuma menjalankan perintah dari pelanggan. Suruh antar ke sini dan suruh bilang begitu. Dari pacarnya ya hehe?”

“Udah ah. Makasih, ya Mbak!”

Setelah melayangkan senyum, Mbak cantik itu tersenyum melajukan sepeda motornya keluar dari halaman rumahku.

Kubuka kantung plastik yang baru kuterima. Satu mika berisi sempol ayam dengan saus tomat dan mayonais.

“Kamu delivery apa, Nak?” Suara Ibu membuatku menoleh. Aku menggaruk tengkukku, “Ehm, anu, Bu. Dari temanku. Enggi, Bu kawan Nadira jaman bocil dulu.”
“Enggi siapa sih? Nggak kenal Ibu.” Ibu langsung berlalu begitu saja.

Semburat senja sudah tampak di ufuk barat. Warnanya selalu meneduhkan untukku. Biasanya sebelum menutup pagar dan pintu depan, aku sengaja berlama-lama untuk menikmati langit jingga itu. Sungguh, lembayung senja itu selalu membuatku tenang. Rasanya semua lelah ikut tenggelam bersama mentari.

Tapi Enggi tak begitu peduli dengan senja. Katanya semua langit sama, hanya bagaimana cara mata kita memandangnya saja. Dia lebih suka langit cerah, teduh dengan warna birunya. Dia suka mendongak untuk sekadar menilik biru cerahnya langit, ya meskipun setelahnya bersin-bersin. Ah, aku jadi ingat saat Sekolah Dasar dulu. Hidungku gatal karena tak bisa bersin. Waktu itu Enggi mendekatiku sebagai teman, lalu menyuruhku mendongak menatap langit. Lima detik setelahnya, barulah aku bisa bersin. Lega.

Enggi selalu baik pada siapapun. Dari jaman bocil dulu, dia selalu baik padaku. Tapi aku tak seberapa peduli. Dulu dia tak seberani sekarang dalam mengungkapkan perasaan. Bahkan, dulu aku sedikit canggung berhadapan dengan dia. Olok-olokkan kakak kelasku yang menjadi sebabnya. “Enggi suka sama Nadira,” begitulah teriak Kakak kelasku yang kulupa namanya. Dari situ, aku jadi canggung bertemu dengan Enggi.

Tapi nyatanya, Enggi yang sekarang adalah lelaki romantis yang pernah kukenal. Segala perhatiannya selalu membuatku terbang melayang. Semua ucapannya selalu meyakinkanku bahwa dialah lelaki terbaik. Hehehe, sampai aku meminta agar dijodohkan dengannya.

Selepas shalat tarawih di mushola, aku terkejut. Enggi sudah di depan pagar, memencet bel untuk segera kubukakan. “Ada apa, Enggi? Ini sudah malam.” Yang ditanya hanya senyam-senyum.

“Eh, Assalamualaikum, Bu. Saya Enggi, temannya Nadira.”

“Waalaikumussalam,” jawab Ibu yang baru saja pulang dari mushola. Ibu selalu pulang akhir setelah tadarus di mushola. Ibu melihat Enggi dengan tatapan sedikit tak suka. “Maaf, Bu. Saya mau ngasih ini ke Nadira. Saya nggak bermaksud bertamu malam-malam. Maaf, sekali lagi, Bu.” Enggi memberikan paper bag kepadaku. “Ini buku titipan Nadia, Bu. Kalau gitu saya permisi, Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam,” jawab Ibu bersamaan denganku.

“Titip buku apa? Itu yang ngasih kamu makanan tadi? Baik keliatannya anaknya.”

“Iya, Bu.”

Begitu masuk kamar, aku berjingkrak-jingkrak. Hoaaahhh ibu mengakui kesopanan seorang Enggi.

Kubuka paper bag pemberian dari Enggi. Demi apa, ini semua bukan titipanku. Aku tak pernah titip sesuatu, apalagi buku pada Enggi.

Kukeluarkan isinya satu persatu. Mulutku menganga terkejut. Bingkai foto berisi fotoku dengannya saat SD dulu. Ah, ini foto kami sewaktu mengikuti perkemahan di kota sebelah. Dia memakai asduk merah putih, memakai baret cokelat dan berdiri tegap. Sementara aku, baju pramuka lengkap dengan kerudung cokelat, tersenyum sumringah dengan topi di tanganku.

Aku saja lupa kalau pernah foto berdua dengannya. Di bawah foto itu ada tulisan tangan, ‘Enggi  dan Nadira waktu bocil, insyaAllah comingsoon foto kita saat kita saling melengkapi.’

Tanpa dikomando, bibirku langsung tersenyum. Aku meraih ponselku, berniat mengirim pesan pada Enggi. Tapi belum sempat kukirim, layarku mati sejenak. Lalu munculah foto Enggi di layar. Ah, dia peka sekali. Aku langsung menggeser ikon hijau untuk mengangkat panggilan suaranya.

“Enggi, kamu nyimpen foto kita?!” aku langsung menyerbunya.

Yaelah, langsung riang gitu. Kamu suka, nggak? Simpan ya sampai kita bisa foto berdua di atas pelaminan hahaha.”

“Idih, apaan sih? Masih bocil ngomongin pelaminan!”

“Bukannya kita udah ngikat janji buat bersama sampai dewasa, ya? Maksudku itu mau mengajakmu hidup semati, Nadira. Semoga di-Aamiin-kan oleh semesta.”

Aku senyum-senyum, “Aamiin. Makasih, ya. Ibu tadi bilang kamu sopan, loh.”

Hah? Masa sih? Selangkah lebih baik lah, buat dapetin kamu. Hehehe. Yaudah, kamu selamat tidur ya. Aku mau jemput Mama di masjid.”

“Loh? Mama kamu belum pulang?”

“Belum, tadarus sama yang lain. Selamat tidur, Ibu negaraku!”

Aku tersipu, “Selamat tidur juga, Bapak Mayor!”

Dia terkekeh sebelum mengakhiri panggilannya. Hai malam, lihatlah aku betapa bahagianya. Sebelum tidur, aku mengamati foto yang terbingkai manis itu.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang