Lagi-lagi Jisoo melamun. Ia tidak tahu, mengapa hatinya mendadak resah. Harusnya ia berterus terang dan menyampaikan apa ucapan Junmyeon malam itu kepada suaminya. Jika saja Jisoo memilih untuk tidak bungkam, mungkin Sehun bisa memberikannya kalimat yang menenangkan, sehingga Jisoo tak terbebani pikiran. Ia berniat agar keadaan ini lebih baik, tapi ternyata ia telah memilih jalan yang keliru untuk menuntaskannya.
Sehun pergi sejak dua jam lalu, dan itu artinya Jisoo harus menunggu tujuh hari ke depan, jika saja otaknya tidak berubah pikiran lagi.
"Ibu?"
Jisoo menggeleng menyelesaikan lamunannya. Didapati si putra kecil sudah menatapnya dengan mata besar seperti biasa.
"Ada apa, sayang?"
"Belnya berbunyi." adu Junkyu, menunjuk arah pintu luar unit apartemen.
Jisoo diam sesaat untuk memastikan. Setelah telinganya juga mendengar bunyi yang dikatakan Junkyu, ia akhirnya meninggalkan meja makan untuk segera melihat siapa tamu yang datang sepagi ini.
Klek.
Hee Kyo dengan senyuman cerah menampakkan diri di sebalik pintu.
"Ibu?" Jisoo membuka pintu makin lebar untuk memberikan jalan agar ibu mertuanya bisa masuk. "mengapa tak bilang ingin berkunjung? Ya Tuhan, ibu selalu saja begini." ia meraih ganggang koper kecil yang digenggam oleh mertuanya tersebut, mengambil alih untuk membawakan.
"Ibu, harusnya jika ibu ingin datang, kabari aku agar aku bisa menyiapkan setidaknya beberapa hidangan untuk menyambutmu."
"Aku lebih suka menjadikan kedatanganku sebagai kejutan. Jika saja terjadi masalah, tak akan ada yang bisa menutup-nutupi, ibu bisa langsung mengetahuinya," sudah tidak sekali atau dua kali Hee Kyo datang tanpa pemberitahuan begini. Ya... apa yang ia katakan, memang itu niatnya.
"Tapi sepertinya kalian sedang baik-baik saja?"
"Seperti anggapan ibu, kami baik-baik saja."
"Baguslah, oh sekarang di mana cucuku?"
"Junkyu sedang menyelesaikan sarapannya, bu. Sebentar lagi harus berangkat sekolah."
❦❦❦
Pekerjaan yang datang di akhir-akhir minggu ini bukan hanya menguras isi kepala, namun juga seluruh tenanga yang ada. Setelah berulang kali pertemuan yang diadakan untuk membahas agenda yang berbeda, hingga siap terbang ke negara yang difokuskan untuk menjadi pasar baru, Sehun baru merasakan sekarang jika sendi-sendinya amat letih. Mungkin ia harus memikirkan hal lain bila ingin berumur panjang, atau paling tidak mengincar jabatan yang tidak melibatkan seluruh tenaga begini. Diteruskan lebih lama, mungkin ia akan mati muda. Astaga.
Sesampai di hotel, Sehun lantas mencampakkan tas kerja miliknya, kemudian menghempaskan diri untuk berbaring di sofa. Mata Sehun memejam, semua terasa sepi di sini. Meski bertahun-tahun dirinya hidup di negara asing seorang diri, tidak menjadikan Sehun terbiasa lagi, karena beberapa bulan belakangan ia telah mengemban status yang berbeda. Entah sejak kapan ia terbiasa jika pulang disambut, hendak makan dimasakkan, hendak mandi disiapkan air, setelah mandi pun sudah disediakan pakaian. Sehun juga terbiasa dengan celotehan Junkyu yang ada di setiap sudut.
Senyuman samar tercetak dalam rautnya yang sedang terpejam. Dengan membayangkan bagaimana hangatnya suasana rumah nan diisi oleh aset-aset beharga, yang kini telah Sehun miliki, sedikit menjadi penghilang suntuk, karena otak Sehun mampu memberikan masukan jika ia akan segera pulang demi anak dan istrinya, jika ia bisa cepat menyelesaikan semua pekerjaan di sini.
Oh ya, ngomong-ngomong, ia baru teringat jika belakangan ini dirinya belum sempat menghubungi Jisoo. Tepat setelah bayangan itu melintas, mata Sehun langsung terbuka. Ia mengingat, dan seingatnya ini sudah dua hari. Terakhir kali hanya ketika ia memberitahukan jika ia telah sampai di Jepang dengan selamat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Simple (but) Beautiful Plan (√)
Romance[COMPLITE] Saat mengetahui ada kejanggalan dalam rumah tangga sang kakak, Sehun tertarik rasa penasarannya untuk tahu lebih dalam. Awalnya ia menerka-nerka kemungkinan, lalu bersikap simpati setelah tahu kebenaran. Dalam prosesnya, ada perasaan lain...