16: Monster

1.6K 265 23
                                    

Bertemu dengan Junmyeon adalah sebuah musibah. Entah dari mana pria itu mendapat kemampuan untuk berbicara amat kelewatan, bahkan adik yang dulunya begitu ia sayangi dan banggakan mampu dijadikan bahan percobaan asumsi buruknya. Jisoo tahu jika Junmyeon mengatakan hal tersebut hanya untuk mempengaruhinya, tapi agaknya meski sudah coba ditepis, Jisoo benar-benar terganggu dengan ucapan tersebut.

Tidak tahu didominan yang mana, Jisoo merasa hatinya begitu tidak baik sekarang. Entah karena pertemuan yang memuakkan dengan sang mantan suami, atau karena terganggu akan makna perkataan Junmyeon. Lagi-lagi Jisoo murung, sebetulnya apa yang dikatakan Junmyeon jika dipikirkan melalui logika, mungkin tak bisa dianggap keliru.

Benar. Sehun adalah seorang pria yang tampan, mapan, nyaris sempurna. Jika dulu Jisoo menikah dengan Junmyeon dengan status yang masih sama-sama baik dan berlandaskan cinta, tapi ujungnya apa? Junmyeon bisa mengkhianatinya. Lalu apa kabarnya sekarang ia menikah dengan Sehun disaat dirinya bahkan sudah menjadi seorang ibu, sedangkan laki-laki tersebut masih memiliki nama baik, dan seperti yang Jisoo katakan; Sehun nyaris sempurna, bahkan begitu sempurna bila disandingkan dengannya.

Jisoo tak ingin menjadi orang yang tak tahu diri karena berharap jika pria sempurna seperti Sehun hanya harus terikat dengannya. Namun Jisoo juga sudah terlalu benci dengan pil penghianatan. Ia serba salah, dan apa yang bisa Jisoo lakukan untuk memperbaiki keadaan? Sehun pantas mendapat yang terbaik, tapi Jisoo juga tak bisa kecewa lagi karena penghianatan.

Otak Jisoo menemui jalan buntu untuk memikirkan keadannya sekarang. Ini sudah terlalu jauh untuk diperbaiki. Seharusnya sejak awal ia berupaya lebih keras lagi menolak ajakan Sehun untuk menikah. Jika pernikahan ini tidak terjadi, mungkin keadaan tak akan berjalan serumit ini. Sehun bisa mendapatkan perempuan yang sempurna, dan Jisoo tak akan mendapat risiko sakitnya kecewa karena pengkhianatan untuk kali kedua.

Bernafas panjang, Jisoo memutuskan untuk mengurung ini dulu. Hal ini tak akan selesai dengan pikiran mentah, Jisoo harus banyak-banyak memikirkannya lagi, mencoba melihat kemungkinan-kemungkinan yang nanti akan terjadi ke depannya. Jika ia sudah bisa menemukan titik jernih, dan sudah ketahuan mana keputusan yang meminimalisir masalah, maka ia akan melakukannya.

Jisoo menaikkan selimut untuk putranya yang sudah tertidur, mengecup keningnya, lalu memutuskan untuk keluar dari kamar Junkyu. Ia kembali memijit pelipis dan menghela nafas panjang, sebelum menyapu langkah ke kamarnya.

Tepat seperti pertama kali menginjak kamar ini, Jisoo dibayangi oleh rasa ragu-ragu yang membuncah. Kakinya seakan terikat rantai yang menggulung, terasa berat. Hal pertama yang didapatinya adalah pemandangan Sehun sedang bertelfonan, dan mungkin Jisoo bisa merasa sedikit lega karena pria itu tidak menyadari kedatangannya. Namun di lain sisi ia juga penasaran, siapa yang menjadi lawan bertelfonan pada jam yang dapat dikatakan sudah lumayan larut?

Jisoo menggeleng, mungkin hal yang dapat dilakukannya sebelum bisa memutuskan untuk memilih tindakan apa, haruslah mengontrol perasaannya sendiri. Jadi, kalaupun nanti sekalipun kemungkinan terburuk yang akan terjadi, ia tak akan terlalu hancur.

Terlalu panjang melamun, sedangkan kakinya terus bergerak, Jisoo tak menyadari keberadaan ujung karpet di samping ranjangnya yang naik beberapa senti. Alhasil karena tubuhnya yang seakan berdiam tanpa jiwa, adegan jatuh tersandung didapati. Mungkin tak akan terlalu malu bila dahi Jisoo tak ikut terbentur di papan ranjang, dan itu cukup menimbulkan bunyi yang nyaring. Sakit sekali, tapi Jisoo merasa rasa malunya lebih besar.

Sehun yang tadinya masih belum sadar akan kedatangannya karena sibuk bertelfonan, lantas berbalik diri, menyudahi sambungan telfon dan bergegas menyamperi Jisoo yang masih terduduk meringisi nasib dahinya.

"Jisoo? Ada apa?"

Penuh ketelatenan, Sehun menuntunnya untuk duduk di sisi pinggir ranjang. Jisoo meringis dalam hati, seraya memegangi dahinya. Bagaimana ia bisa begitu ceroboh, sampai-sampai menyakiti diri begini.

Not Simple (but) Beautiful Plan (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang