Eric

280 44 26
                                    

Pulang sekolah, seperti biasa kita ngumpul-ngumpul ngebahas soal Eric. Kali ini yang kebagian jatah, Dehan. Rumahnya hari ini kita jadiin tempat buat gibah sekaligus istirahat. Apalagi makanan di rumah Dehan banyak banget, tambah seneng aja lama-lama di rumah dia.

"Heh, udah berapa bungkus lo makan keripik gue!?" Dehan nebas tangan Jeremi yang lagi mau ambil keripik kentang. Ini udah bungkus keempat, kebetulan gue gak sengaja itung.

"Jangan pelit, Han."

"Serius, dari tadi kalian malah makan mulu bukannya bahas misi kita." Semua makanan yang ada di atas meja, buru-buru Dehan ambil terus dimasukin ke lemari. Tidak lupa dikunci.

"Iya, maap." Jeremi mengatupkan kedua tangan, pasang pose minta maaf. "Abis makanan lo menggoda banget."

Rama tertawa sambil mengunyah permen karetnya. Mungkin sebentar lagi acara detektif-detektifan bakal mulai. Soalnya Rama udah ngeluarin majalah sekolah terbitan tahun 2017.

"Wih, dapet lo?" Gue ngambil majalah itu. Terus, gue taruh lagi gara-gara berdebu banget. Dalam sekejap, telapak tangan gue langsung item. "Berdebu banget."

"Iya, gue nemuinnya di gudang perpus."

"Tambah misterius aja si Eric ini." Buku itu Jeremi elap pake tisu. Abis itu, barulah dia buka. "Coba kita liat..hmmm."

"Halaman dua puluh," jawab Rama cepet.

"Ilah, ngerusak momen gue sebagai detektif lo!" Jeremi nimpukin Rama pake tisu. "Gue tau, gue tau. Udah lo diem aja."

Ujung-ujungnya Jeremi percaya sama Rama, dia langsung ngebuka halaman dua puluh. Gue yang ada di sebelah Jeremi ikutan ngeliat isi buku itu dan mata gue menangkap sosok yang familiar.

Rambut pirang mencolok, wajah seperti bocah, plus baju seragam SMA Kreker dengan dasi bergaris biru. Udah pasti itu Eric. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian gue.

Eric Sohn juara ke-2 olimpiade matematika

"Asik, keren juga." Jeremi menepuk tangannya, Dehan jadi penasaran terus ikutan ngeliat majalah itu.

"Gak heran, dia kan anak gedung belakang, Jer. Sini coba liat."

Gue ngasih bukunya ke Dehan, bersamaan dengan itu handphone Dehan bunyi. Ada yang ngechat dia. Gue kira pacarnya yang ngechat soalnya dia girang banget pas natap handphonenya.

"Dia jawab gue!" Matanya berbinar sampe gue silau ngeliatnya. "Alumni yang seangkatan sama Eric!"

Ternyata alumni toh. "Dia jawab apa?"

Dehan mengisyaratkan semua orang yang ada di ruang tamu untuk diam. Setelah diam, dia balik natap handphonenya. Membaca pesan dari alumni itu.

"Eric itu beneran bunuh diri." Nada suara Dehan terdengar sedih.

"Tuh, gue bilang juga apa. Makanya jangan bikin teori baru. Udah jelas-jelas pada bilang dia bunuh diri." Dengan soknya Jeremi menyisir rambutnya kebelakang, udah ngerasa menang karena hipotesisnya terbukti valid.

Gue tiba-tiba keinget Eric. Seorang Eric yang usil itu. Masa iya dia bunuh diri?

Dehan semakin mengerutkan keningnya, membaca setiap pesan yang diterimanya. Entah apa yang si alumni ketik. Gue pun bertanya-tanya, namun tanpa perlu bertanya Dehan segera membuka mulutnya.

"Kalian...mau ke rumah Eric?" Bukannya pernyataan, pertanyaanlah yang Dehan lontarkan. Membuat kita bertiga mati kutu.

***

"Lo yakin, Han. Alumni itu gak niat nipu kita," tanya Jeremi memecah keheningan.

Gue setuju sama Jeremi. Rasanya aneh, orang itu langsung ngasih tau alamat rumah Eric ke kita yang berlabel orang asing. Yah, sayangnya tubuh ini gak mau bekerja sama dengan pikiran, kita berempat udah terlanjur menginjakkan kaki di depan rumah besar nan mewah yang katanya milik keluarga Sohn.

Try to Feel U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang