Ditolongin

292 48 25
                                    

"Kenapa kak? kok bengong?"

Suara Bagas menyadarkan gue. Gue galagapan, gak tau mau jawab apa. Ujung-ujungnya gue cuma bisa diem natap Bagas. Sedangkan Bagas, dia menghela napas sembari duduk di kasur gue.

"Ketemu setan lagi?"

"Lebih parah dari itu Gas, gue berantem sama setan."

Bagas memperdalam tatapannya. "Gue heran, kenapa lo gak mau di tutup aja sih mata batinnya. Padahal lo benci sama yang begituan. Papa kan bisa nutup mata batin lo."

Gue menggeleng pelan. Perkataan Bagas ada benernya, enggak...malah bener banget. Seharusnya gue nutup mata batin gue. Tapi,

"Van, kamu itu spesial. Mama seneng dan bangga sama kamu."

Mulut gue terkatup rapat. Mengenang kata-kata terakhir dari seorang wanita yang melahirkan gue. Kangen. Sekarang gue cuma bisa liat wanita itu lewat foto, tengah tersenyum manis menggenggam tangan gue yang saat itu berumur lima tahun.

"Hup," Gue meregangkan badan gue, melepas rasa sedih. "Makan yuk Gas,
laper gue."

Dia tertawa. "Kebiasaan, sok keren. Padahal udah mau nangis tadi."

"Siapa? nangis? mana? liat mata gue? ada airnya emang?" tanya gue sambil mendekatkan wajah ke Bagas.

Bagas memukul lengan gue pelan terus, kita berdua keluar dari kamar, menuju dapur. Di sana ada papanya Bagas lagi baca koran ditemani secangkir teh kesukaannya, teh rasa jahe. Pas menyadari kehadiran gue, dia terenyum. "Wis, pentolan udah laper?"

"Hehehe, iya om. Tadi siang cuma minum es."

"Pantes badannya segitu-gitu aja." Koran yang dia baca, dilipat. "Mbak e, tolong angetin sayur sopnya. Ini bocah-bocah mau makan."

"Nggih, Pak."

"Siapa yang bocah." Bagas ngedumel.

"Ekhem..gimana, Van. Udah hari kedua ya? suka gak?" Biasa, orang tua pasti selalu nanya hal kayak gitu di meja makan sambil nunggu makanan dateng.

"Sekolahnya enak kok Om, makasih udah mau sekolahin Vano."

"Santai aja." Papa Bagas membetulkan kacamatanya sejenak, terus ngelanjutin omongannya. "Sampe sekarang masih aman-aman aja kan, belom ada masalah sama penghuni di sana?"

Penghuni...

Gue jadi inget lagi kan. Bocah rambut pirang itu.

"Dari muka kamu...kayaknya ada masalah ya sama penghuni di sana. Gak kesurupan, kan? biasanya badan kamu itu gampang dirasukin sama mereka. Kamu harus hati-hati, Van."

"Nggak papa kok-"

"Berantem katanya ama setan." Bagas motong ucapan gue, membeberkan kenyataan kalau gue abis berantem sama setan.

"Wih? tonjok-tonjokan?"

Gue menggelengkan kepalanya. "Adu argumen doang."

Papanya Bagas ketawa pelan. "Kamu udah jadi berani ya, Van."

"Boro-boro, kemaren waktu pulang ketemu setan di lorong sekolah langsung meluk aku." Lagi-lagi Bagas membeberkan sesuatu yang gak perlu.

Tapi kalau boleh jujur, mbak-mbak yang di lorong sama si pirang itu beda banget dari segi penampilan sama cara mereka berkomunikasi. Si pirang itu hampir mirip orang normal pada umumnya, mungkin karena itu gue jadi berani sama dia. Sedangkan yang mbak-mbak...gak usah diomongin kali ya? serem kawan.

"Van, kamu harus tetep hati-hati. Badan kamu itu ringkih." Pria berumur 38 tahun itu menyentuh punggung gue. "Hm, ringkih banget."

Gak heran dulu waktu kecil gue sering kerasukan.

Try to Feel U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang