Cowok rambut pirang

377 55 36
                                    

Sekolah adalah tempat yang gue datengin untuk kedua kalinya berhubungan sekarang masih hari selasa. Udah pasti gue bakal dateng kesini lagi.

Mata gue nangkep sosok Jeremi yang lagi jalan santai menuju lapangan bola. Bisa-bisanya dia santai jalan sendirian ngelewatin tempat angker. Gue yang masih ada di atas motor manggil dia. "Woi Jer!"

"Eh, Van!" Dia membalikkan badannya, berjalan dengan langkah cepat mendekati gue yang langsung gue geplak. Jeremi langsung sewot."Napa sih?!?"

"Woi mas, jangan sendirian jalan di tempat angker." Kata gue sambil turun dari motor.

"Perhatian banget kamuuu" Jeremi berucap begitu sambil ninju bahu gue pelan, udah kayak biduan yang minta disawer."Gak takut gue bro, sama yang begituan. Gak percaya juga gue."

"Lah, terus? kemaren ngapain cerita soal urban legend ke gue?"

Bukannya jawab dia malah ngetawain gue. Jangan bilang, dia bohongin gue.
'Eh tunggu.' memori gue berputar, mengingat apa yang gue lihat kemaren sore. Cowok berambut pirang tergambar jelas di benak gue.

"Kemaren, gue liat."

Jeremi diam membatu ngedenger kata-kata gue barusan. "Hah? coba ulang, Van."

"Kemaren gue liat cowok rambut pirang. Makanya lo jangan ngadi-ngadi jalan santai kayak tadi sendirian di tempat angker. Untung lo sadar, kalo setengah sadar gimana?"

"Serius lo?" Mata Jeremi membulat. Dia menatap gue dari atas kepala sampai ujung kaki. "Kampret, gue temenan ama anak indigo."

Tangan gue gemes pengen nyubit dia.

Jeremi merengut, mikirin sesuatu. Gue yang usil memasang raut wajah ketakutan. "Jer...Jer di belakang lo ada sesuatu."

Refleks Jeremi loncat ke arah gue, badan kita bertubrukan dan cowok berambut kecoklatan itu berakhir di pelukan gue. "Yailah, katanya gak takut, met."

Cepet-cepet dia mendorong tubuh gue. "Kaget gue, Jamal! udah ah, keburu bel."

Dia berlari kecil dengan kepala tertunduk malu.

***

"Jeremi, ternyata lo khianatin gue."

"Han, jangan pasang muka kayak gitu. Serem tau."

"Lo bilang percaya sama gue, tapi nyatanya lo ga percaya sama cerita urban legend itu."

Kantin, pukul sembilan dini hari. Saudara Jeremi sedang diinterogasi oleh petugas bernama Dehan. Sedangkan gue cuma bisa nontonin mereka sambil nyeruput es jeruk.

"Lo pasti Van yang cepu."

Gue keselek. "Lah kok saya?"

"Udah Jer, jangan salahin Vano. Mata gue ada dimana-mana, gue tau kalo lo ngibulin gue. Hati-hati." Dehan lanjut makan bakso setelah merapal mantra terkutuk untuk Jeremi.

"Ya pasti lo denger dari seseorang kan?"

"Gue." Ada seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakang Jeremi. Dasinya bergaris merah, beda sama kita yang bergaris biru. Anak kelas 10 seinget gue kalo dasinya model begitu.

"Yailah, Rama."

Gak kenal. Gue natap orang itu lama. Dia juga natap gue lama dengan wajah yang super datar. "Siapa nih?"

"Anak baru, Vano namanya." Jeremi menarik tangan gue dan dia, terus tangan kita berdua disatuin. Saling berjabat tangan. "Jangan nakal ya Ram, nanti mata batin lo di buka sama orang ini."

Try to Feel U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang