Rencana penelitian

285 48 31
                                    

Gue diam termenung menatap kaca jendela. Aneh, seorang Vano ngegalau. Lebih anehnya, gue gak tau lagi ngegalau apaan. Rasanya ada yang mengganjal di kepala gue, tapi karna otak gue kapasitasnya lagi kurang jadinya blank. Cuma bengong ngeliatin mobil Papanya Bagas yang terparkir miring di halaman depan.

Ditengah korsletnya otak gue, Terdengar suara pesan masuk. Pasti dari grup namun dugaan gue salah. Nomor yang gak gue kenal terpampang di layar handphone gue.

Unknown number

Jangan sembunyi.

Saya tahu keberadaan kamu.
Lebih baik kamu pulang ke
Bandung.
17:00

Awalnya gue gak tau siapa, tapi ngeliat cara orang itu ngetik, gue langsung bisa nebak identitas si pengirim.Tanpa basa-basi kontak itu langsung gue block. Payah, digituin doang pikiran gue langsung kembali ke masa lalu. Tentang Bandung, tentang rumah, tentang mama papa yang gak akur.

"Kamu ngelahirin anak yang aneh!"

"Setiap hari dia ngobrol sendiri, kayak orang gila! tiap malem juga selalu nangis-nangis teriak-teriak gak jelas!"


"Bangke." Gue melempar hape gue, kesel.

Beberapa detik setelahnya, pintu kamar gue terbuka."Kak, kenapa?"

"Biasa, Gas. Gausah diladenin."

"Bapak lo, Kak?"

Gue mengangguk malas, menjawab pertanyaan dari Bagas, bahkan gue hampir menggeleng. Tapi, bagaimanapun juga secara akta keluarga 'dia' bapak gue.

"Santuy Kak, kalau pun dia dateng ke sini. lo punya backingan, ada gue dan papa."

Mendengarnya, gue merasa sedikit terharu. "Yaampun, Gas. Kamu kok peduli banget."

"Yeh, kayaknya salah ngomong gue ya. Gue tendang juga lo ke Bandung."

"Terharu gue, Gas. Tau terharu gak?"

Bagas gak menjawab, dia malah ganti topik."Ngomong-ngomong, tadi kata papa ada yang ngikutin lo."

Gue menaikkan alis mendengar omongan Bagas. "Oh, kayaknya itu Mbak Siti. Tapi kok gak sampe kesini ngikutinnya?"

"Papa usir. Eh, Cie ampe kenal nama hantunya. Udah jadian?"

Ngadi-ngadi aja terus, keknya orang-orang yang gue kenal gini semua.

Btw, asoy banget bisa ngusir. Kayaknya gue harus belajar dari Papanya Bagas. "Gas, papa lo kok bisa sih. Ngehandle begituan."

"Jangan tanya gue lah. Terus, itu ngapain buka google?"

Eh iya, gue baru sadar kalau lagi buka laptop. Buru-buru gue mengarahkan pandangan ke laptop butut itu, terus mematikannya.

"Kepergok mau nonton begituan?"

"Gak demen gue yang begituan. Gue tadinya mau nyari itu..aduh apa tuh namanya..urban..urban legend." susah banget ngomongnya.

"Lah, tumben."

Gue juga bingung kenapa gue bisa se-kepo itu sama urban legend, lebih tepatnya Eric. Banyak pertanyaan yang muncul di kepala gue.

Try to Feel U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang