File 11

207 40 31
                                    

Mau minta maaf soalnya chapter ini rada absurd 🤭🙏

=========================

"Woah, baru pertama kali gue ke rumah lo, Van." Mata Jeremi berbinar menatap rumah gue--ralat, rumah Bagas. Soalnya gue cuma numpang.

"Motornya diparkir di sini?" Rama memarkirkan motornya di teras rumah yang biasa dipake buat markir mobil Om Chakra.

"Iya, di situ," kata gue sambil ngedorong motor gue, menempatkannya di sebelah motor Rama.

"Adek sepupu lo udah pulang, Van," tanya Dehan.

"Udah kali?" Gue mengedikkan bahu gue seraya membuka pintu rumah. Begitu pintu terbuka Jeremi masuk duluan, ngedahuluin gue. Mohon jangan ditiru, tindakan ini hanya dilakukan oleh profesional.

"Van, ada makanan gak? laper gue--SETANN!!"

Jeremi teriak-teriak ngeliat sesosok makhluk yang lagi kayang di pojokan. Gue, Rama, sama Dehan refleks ikutan teriak. Namun, buru-buru tersadar dan merasa bodoh karena yang kita sangka setan adalah Bagas.

"Bagas, jangan kayak gitu woi, serem!" Gue ngomel. Sumpah kaki gue udah gemeteran.

Bagas masang muka datar, "Elah, orang lagi latihan kayang buat besok."

"Ya...jangan di pojokan," lirih gue. Jantung gue nangis kejer ngeliat pemandangan barusan. Sedangkan Jeremi, udah gak usah ditanya lagi, manusia girang satu itu tergeletak lemas di ubin.

"Iya, ini gue pindah aja ke kamar." Bagas ngangkat matras lalu melangkah menaiki tangga.

"Eh, eh tunggu, Gas. Tadi ada yang ngirim surat atau dokumen gitu gak?"

Kepalanya menoleh, telunjuknya menunjuk televisi jadul peninggalan nenek, "Tuh, gue taruh di atas TV."

"Sip, makasih."

Dehan berjalan masuk ke dalam rumah, setelah Bagas gak menampakkan lagi batang hidungnya. Mukanya masih keliatan pucet. Sama halnya dengan Rama, wajahnya udah kayak ketumpahan cat. Putih bersih nippon paint.

"Ayo duduk." Gue nyuruh mereka buat duduk di sofa ruang tamu.

Jeremi merayap menuju sofa. Siapa suruh masuk duluan. Coba aja kalo dia masuk belakangan. Efek sampingnya gak separah ini.

Gue ngambil amplop besar yang ada di atas TV, isinya hasil tes sidik jari.

Kok deg degan ya...

"Kita buka sekarang?" Gue nunjukin amplop itu ke mereka bertiga.

"Tunggu, gue napas dulu," ucap Jeremi, habis itu dia megap-megap. Menghirup udara dari mulutnya. Dehan yang keberaniannya sudah kembali, nyumpel mulut Jeremi pake tisu. "Geh-- apaan nih!?"

"Tisu, anda butuh makan kan?"

Jeremi melepeh tisunya. "Sialan."

Sebelum perang asia pasifik dimulai, Rama buru-buru duduk di antara mereka berdua. "Et, et, et...Gue suka pertikaian tapi gue lebih penasaran sama hasil sidik jarinya. Jadi, harap tenang."

Jeremi dan Dehan saling melempar tatapan sengit.

"Udah ya gue buka aja."

Capek nungguin, amplop itu gue buka. Kertas-kertas di dalemnya gue keluarin dan gue taruh di atas meja. Dehan mencondongkan tubuhnya ke depan, kacamata yang biasa ditaruh di saku, dia pake.

"Ada lumayan banyak sidik jari." Rama melihat hasil tes sidik jari. "Tapi tujuan kita cuma nyari sidik jari Julian, kan?"

Jeremi mengangguk lalu membalik kertasnya, membuka print-out halaman kedua. "Kalau beneran nemu sidik jari Julian, rencana selanjutnya gimana?"

Try to Feel U [END]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang