16. Nano nano

28 7 2
                                    

"Yang paling berpengaruh dalam sikap manusia adalah hati"

🍃🍃

"Kalau sudah dapat perlakuan seperti itu, kira-kira ada rasa menyesal ngga sih dulu ngga jadi nikah sama kakak saya." Sindir Dio yang ikut duduk bersama Nisa di deretan meja makan dekat Haya dan An.

Haya, suami dari Anne itu berbalik menatap dua manusia yang sibuk membaca daftar menu makanan namun menyunggingkan senyum miring. An ikut melihat, perempuan itu kemudian menolehkan wajah suaminya menatap ke arahnya. Haya menghela nafas.

"Makan Mas." Ucap An.

"Di, kakakmu ini ngga pantas memang sama laki-laki yang baik dan sholeh seperti dokter Haya itu."

"Haha, pantasnya sama yang lebih baik lagi emang kak, i feel so deep banget sih sama cowok yang terlalu di kuasai istri seperti itu." Lanjut Dio lagi lalu menggeleng-geleng pelan.

"Tau aja kamu, you know me so well banget sih, jadi ngga ada rasa nyesel oi." Nisa turut menimpali.

An makin mendidih mendengarnya ia menoleh ke arah Dio dan Nisa yang juga menatapnya dengan santai. "Mau kalian apa sih hah?" Pekik An.

"Hahahah" kedua kakak beradik itu tertawa. "Gitu tuh manusia ngga punya urat malu, buat salah kaga mau ngaku di sindir dikit betingkah kek orang baik sejagad raya." Kali ini Nisa yang menyindir.

An menaruh peralatan makannya dengan kasar lalu berdiri. Baru saja hendak melangkah, Haya menariknya. Menyuruh An untuk duduk kembali.

"Biarin saya mas, mereka berdua harus dikasih pelajaran memang." Ucap An dengan kesel.

"Saya bilang makan An."

"Mereka keterlaluan Mas."

"Makan An."

"Ngga, saya mau beri pelajaran kepada mereka dulu."

"ANNE, DIAM. buruan makan." Nada bentakkan Haya akhirnya keluar. An langsung terdiam sementara Dio terkekeh dan Nisaenghiraukan, gadis itu sibuk menerima pesanannya.

"Mas Haya berani bentak saya." Ucap An tiba-tiba yang sudah mulai berkaca-kaca.

"Disini kamu yang salah Anne, mas sudah melarang kamu, tapi nyatanya apa kamu malah tak mengindahkan." Haya mencoba menjelaskan bahwa istrinya itu memang salah.

"Mas buka mata kamu, jelas-jelas dalam kasus ini itu ayah Nisa dan Nisa yang salah mas. Saya ngga suka Nisa masih mencoba mendekati kamu kalau di rumah sakit."

"An, kita beda rumah sakit, lagian saya suami kamu. Asal kamu tahu An, itu kecelakaan kerja. Dokter Zafran juga tidak berniat seperti itu pada pasien yang di tanganinya."

"Cukup mas, disini saya yang istri mas. Keluarga mas, kenapa mas malah membela mereka?"

"An, saya ingin kamu punya malu, kita ini kerja di bawah pimpinan dokter Zafran, rumah sakit itu milik ayah mereka. Bagaimana bisa nantinya kalau pak Zafran tahu kamu menusuknya dari belakang? Saya nikah sama kamu untuk melindungi dan meluruskan kesalahanmu Anne, bagaimana bisa saya tenang istri saya menjadi orang jahat seperti ini."

"Saya bisa keluar dan buka klinik sendiri, mas tolong dong dukung istri maas. Mas mau yang menjadi pembunuh merajalela? Ngga kan."

"Terserah An." Haya memutuskan untuk tidak berdebat lagi. Ia pusing harus seperti apa lagi menyadarkan istrinya ini.

Nisa dan Dio yang sibuk makan sambil mendengarkan perdebatan suami istri itu sesekali meringis. Dio rasanya ingin menimpali namun kakak yang ada di hadapannyaa melarang. Mereka memutuskan pergi dari tempat itu saat An mulai berkata bahwa Haya memihak mereka. Sebenarnya Nisa masih bingung, apa yang ayahnya lakukan dimasa lalu sampai dokter An dan Haya membahas etos kerja dokter.

UNIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang