11. Qutul Qulub

36 10 4
                                    

"Dalam perjalanan itu tak ada lorong sempit yang lebih sulit dari ini, beruntunglah orang yang tak membawa kedengkian sebagai teman".

Maulana Jalaludin Rumi

🍁🍁

Nisa tampak memijat pelipisnya. Atmosfer dalam ruangan kerja ini membuat dirinya mendadak tidak nyaman. Gadis itu sama sekali tidak menyangka bahwa sahabat yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuan malah menyalahkanya karena kepergian dokter An.

Ia beranjak keluar meninggalkan ruangan persegi empat bernuansa putih tulang itu. Sedikit terkena udara luar yang segar mungkin bisa merefreskan pikirannya. Ini bukan masalah kecil lebih dari itu tuduhan Salsa tadi pagi dan kemarin setelah balik dari kondangan masih menghantui pikirannya.

Kursi panjang berwarna coklat menghadap barat menjadi pilihan Nisa untuk menetralkan rasa pusing akibat tekanan batin, kejadian kemarin kembali terpikir olehnya.

"Dokter An itu terpaksa mengundurkan diri Ar, kamu ngga tau saja kalau di rumah sakit itu ada manusia munafik" Cerca Salsa sambil menekankan kata munafik melirik ia, Nisa.

"Kamu ngga boleh asal nuduh gitu dong Sal, kamu ngga punya bukti. Menurutku justru Nisa disini yang terzolimi." Ardewa menyanggah tuduhan Salsa. Menurut laki-laki itu. Nisa hanyalah korban kambing hitam salah satu orang yang ada bekerja di rumah sakit. Bisa saja itu haters.

"Kok kamu malah belain dia sih. Semalm kamu dipukulin sama ayah kamu Ardewa, apa kamu mau cari mati jika ayah kamu tau dokter kepercayaanya pindah? Atau Ooh i know that. Berhenti Ar, saya mau pulang sendiri saja. Saya muak sama ulah kalian semua."

"Jangan kekanakan Sal. Jangan Gila". Pekik Ardewa. Laki-laki jakun berjas hitam itu kekeuh untuk tetap menjalankan mobilnya.

Nisa yang duduk diam memperhatikan pertikaian itu merasa jenuh. Ia menepuk pundak adiknya agar tetap sabar. Meskipun dirinyalah yang disindir oleh Salsa sedari tadi. Sampai ia dikatakai budek dan batu. Nisa masih cukup bertahan.

Puncak kesabarannya habis saat Salsa memaksa akan mendobrak pintu mobil jika Ardewa tidak ingin menghentikan mobil itu. mobil Ardewa berhenti, Nisa dan Dio segera keluar menghentikan kegilaan Salsa. "Ngga perlu kamu buang tenaga dan emosi buat nyindir saya sebagai perempuan munafik Sal. Karena kebenaran akan selalu menang nantinya."

"Nisa, Dio kenapa kalian keluar. Masuk mobil sekarang. Saya disini yang bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Saya mohon masuk ya." Pinta Ardewa yang cemas melihat dua orang kakak adik itu keluar dari mobilnya.

"Ngga perlu Ar, saya sampai disini sudah makasih banyak. Titip Salsa, antar dia sampai rumah."

Salsa terkekeh mendengar ucapan Nisa. Perempuan itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah Nisa. Dio hampir saja tersulut emosi namun ditahan oleh kakaknya.

"Ngga usah munafik kamu, pura-pura perhatian dengan keadan saya. Kali aja hari ini kamu baik tapi besoknya bisa jadi nusuk saya dan Ardewa dari belakang. Ingat kalau sampai besok dokter An tidak kembali bekerja. Kamu tanggung jawab."

Dio kesal. "Sekolah tinggi-tinggi jadi dokter jantung tapi ngga bisa ngebedain fitnah dan dengki sama ngga punya adab. Ngga ada akhlak banget si kamu kak." Dio menimpali ingin sekali menjulurkan kepalan tangan dipipi Salsa.

"Udah Dio." Tegas Nisa. Menatap adiknya itu dengan tatapan berhenti. Merai tangan Dio dan pergi menjauh dari mobil Ardewa.

Suara kekehan Salsa masih terdengar jelas. Ardewa frustasi ia sebagai laki-laki yang tak bisa berbuat apa-apa disini "Sal saya ngga habis fikir kamu bisa seperti ini."

UNIKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang