Emosi

184 58 89
                                    

"Kata-kata biasanya tidak pernah dapat disampaikan secara langsung, seharusnya ungkapkan lebih jelas agar tahu apa masalahnya. Bila perlu ambillah tindakan untuk menjelaskannya."

—DEA—

Seminggu berlalu, hari yang ditunggu-tunggu Dea mungkin saja akan datang setiap saat. Jantungnya berdetak cepat dan pipinya terasa panas. Senyumnya terus nampak di bibir manisnya.

"Huh, tenang aja Dea."

Dea terasa gugup dan mencoba menenangkan dirinya. Keringatnya terus mengalir di pelipisnya.

"Gue juga belum kasih tau Cris, ya? Haduh, saking senangnya gue sampai lupa," gumamnya dengan cemas dibarengi kesenangan. Ia tidak bisa menahan perasaan rindunya lagi. Tentu saja, siapa juga yang dapat bertahan seperti Dea, ia berpisah dengan ayahnya dan tidak bisa menghubunginya langsung selain lewat pamannya.

"Dea." Panggilan gurunya yang sedang mengajar di depan kelas membuat Dea tersadar dari lamunannya.

"Ah!! I--Iya, Bu. Saya perhatiin Ibu, kok!" Dea berdiri dari tempat duduknya dan langsung menatap gurunya dengan panik.

"Hm ..., Ibu manggil kamu soalnya itu wali kelas kamu nunggu di luar."

"Eh? Baik, Bu." Dea merasa malu dan menghembuskan napasnya. Ia berjalan melewati meja teman sekelasnya yang sebagian menatapnya malas.

"Nggak usah balik sekalian." Dea dapat mendengar Calista berbisik kecil saat dirinya melewati posisi meja gadis itu. Dea hanya merasa risih dan mempercepat langkah keluar kelasnya.

"Saya pergi dulu," pamit Dea setelah meminta izin kepada gurunya yang sedang mengajar itu dan menghampiri wali kelasnya.

"Dea, ayo ikut Ibu."

Dea mengangguk dan mengikutinya. Ia sedikit cemas selama perjalanan. Firasatnya mengatakan bahwa hari ini akan ada sesuatu.

"Apa ayah saya berkunjung??" tanyanya dengan penasaran. Ia tahu arah tujuan mereka adalah ruang kepala sekolah.

Gurunya itu tidak menjawab, mereka melanjutkan perjalanan ke ruangan kepala sekolah.

Tok .... Tok ....

Dea masuk dengan senyumnya di belakang gurunya itu yang membuka pintu ruang kepala sekolah.

Dirinya langsung terkejut, napasnya berderu cepat dan matanya terasa memanas.

"A--Ayah?" Dea berjalan perlahan memasuki ruangan. Ia mendekati seseorang yang sedang duduk sambil mengobrol dengan Bagas yang merupakan kepala sekolah sekaligus pamannya itu.

Dea melihat ayahnya yang sudah tua dan berlari menghamburkan pelukan menghampirinya.

"Dea kangen!! Kenapa baru ngunjungin sekarang??"

Ayahnya tertawa dan menggelitik Dea, dirinya sangat rindu pada putrinya yang sudah berpisah selama tujuh tahun terakhir ini.

"Dea setiap saya bawa ke ruang kepala sekolah selalu bertanya apakah ayahnya akan datang setelah mendengar dirinya akan diajak pindah dan memulai hidup baru bersama ayahnya." Bagas ikut tertawa melihat Dea yang histeris kesenangan sambil terisak memeluk ayahnya.

DEA ✓ (WM) TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang