"Usaha tidak akan mengkhianati hasil, yang sulit hanyalah menunggu kapan hasil itu akan segera datang dengan membawa kebahagiaan."
—DEA—
Dengan keadaan panik, Cris berlari dengan sesekali menabrak murid yang sedang berlalu-lalang.
"Gue kesana!!" tegasnya sebelum memutuskan panggilan. Langkahnya membawa Cris ke parkiran sekolah. Cris memajukan kendaraan bermotornya dengan cepat, berteriak pada satpam untuk membukakan gerbang yang akan ia tabrak. Satpam yang melihat seseorang akan menabrak gerbang sekolah segera membuka gerbang yang langsung diterobos Cris.
Di tengah perjalanan cuaca sudah tidak bagus dan akhirnya menurunkan hujan yang deras. Apalagi sedang hujan seperti ini membuatnya sulit melihat ke jalanan. Ia memaki dengan kesal pada dirinya yang selalu tidak ada tepat waktu ketika Dea sedang bersedih.
Beberapa menit berlalu dan ia melihat Dea yang berdiri di dekat jalan raya menatap ke mobil putih. Cris memberhentikan motornya. Ia mendekati Dea yang seperti patung dan langsung memeluk Dea yang basah kehujanan.
"Maaf, gue telat."
Dea hanya membalas pelukan Cris dan menangis dengan histeris. Mereka saling berpelukan di bawah hujan tanpa memedulikan suasana di sekitar yang sangat berisik dan suara orang-orang yang menatap kasihan pada Dea.
"Padahal gue baru aja senang ketemu ... hiks ... Ayah setelah sekian lama. Kenapa sekarang dia pergi? Apa karena ketemu gue?? Cris!! To--long jawab!!" Dea semakin histeris dan memukul dada Cris dengan kencang. Mengeluhkan kenapa tiba-tiba kejadian seperti ini harus dialaminya.
"Lo nggak salah, gue tau hal itu. Dengerin gue!! Lo nggak salah!!" Cris memeluk Dea yang terdiam memukulnya. Ia melihat Dea yang lemas terjatuh bersender kepadanya. Dengan cepat Cris membawa Dea untuk masuk ke dalam mobil putih itu yang akan segera pergi sementara motornya ia tinggalkan. Keadaan Dea lebih penting sekarang.
Dea yang Penglihatannya semakin buram duduk bersender ke badan Cris sambil mencoba mengenggam tangan dingin orang kesayangannya itu, sementara Cris mengusap punggung Dea menyalurkan dukungannya.
"Maafin Dea, terimakasih untuk semuanya. Dea sayang Ayah." Ia mencium tangan ayahnya dengan hangat, meneteskan air matanya dan tersenyum melihat wajah ayahnya. Setelah itu penglihatan Dea gelap gulita.
—DEA—
Akan menjadi apa hari ini?? Lebih baik?? Atau lebih buruk??
Dea merenung di ranjangnya sambil memeluk figura berisikan foto baru dirinya dan ayahnya yang ia ambil disaat beberapa menit sebelum ayahnya pergi dipanggil tuhan.
Seminggu yang lalu ....
Tepat mereka akan pulang setelah menghabiskan waktu berdua. Mereka pergi makan siang, mampir ke toko buku, mengunjungi makam sang bunda. Dea menatap ayahnya yang menyetir sambil tersenyum. Sesekali mereka bersenda gurau. Walaupun hubungan mereka sudah lama renggang dan tidak pernah bertemu, Dea langsung bisa akrab dengan ayahnya itu.
"Ayah sayang sama kamu, jadinya jangan berpisah lagi sama ayah ya?? Kamu akan bersikap baik, kan? Kita mulai dari awal hidup bersama." ucap ayahnya di pertengahan percakapan mereka.
Dea tertawa senang, ia mempertanyakan apa saja yang ayahnya lakukan selama berpisah dengannya.
"Iya, aku nggak mau pisah sama Ayah lagi. Dea mau tanya, Ayah ngapain aja selama tujuh tahun ini? Aku mau dengar langsung, walau Dea udah tau kabar Ayah lewat paman."
KAMU SEDANG MEMBACA
DEA ✓ (WM) TERBIT
Teen FictionGadis kuat dan keras kepala yang harus kehilangan satu persatu kebahagiaannya sejak kecil. Bahkan di saat dirinya menginjak usia remaja di mana seharusnya bersenang-senang, ia harus kehilangan pendengarannya. Setidaknya ia tidak akan mendengar caci...
