Tatapan

90 22 45
                                        

"Senyum seseorang memang terlihat ramah, tetapi sulit menentukan apakah senyum itu tulus ataukah hanya kepalsuan yang ia pasang?"

DEA

Dea bersenandung kecil sambil memakai baju seragam sekolahnya. Ia merasa segar setelah mandi dan sudah diperbolehkan sekolah oleh Pamannya. Ia juga memakai alat pendengarannya lagi.

Jujur saja semenjak ia tidak dapat mendengar lagi, selama di rumah sakit Dea belajar memahami ucapan orang dari gerakan mulutnya. Alat pendengaran yang sedang dipakainya ini hanyalah memperjelas ucapan orang-orang saja.

Tidak mungkin baginya mengandalkan alat pendengaran terus. Jika nanti alat itu rusak ataupun sudah harus diganti, dirinya tidak ingin membeli alat itu lagi yang memang mahal dan tidak ingin menyusahkan tiga orang kesayangannya itu lebih jauh.

Setelah selesai berpakaian, Dea mengintip dari balik jendelanya. Mengawasi keluarga pamannya yang memasuki mobil bersiap pergi bekerja beserta para anaknya yang pergi ke sekolah. Memang ini kebiasaannya tiap pagi, mencari aman dengan keluarga sang paman.

Dea melangkah keluar rumah setelah mendapati keluarga pamannya telah pergi. Ia mendapati langit masih terlalu pagi untuk pergi ke sekolah.

Namun sekarang bukan waktunya untuk tidur kembali. Dea sangat bersemangat karena dapat pergi ke sekolah kembali walaupun di tempat itu banyak kenangan buruknya. Bagaimanapun dirinya perlu ilmu dan ujian untuk dapat lulus juga mendapat ijazah.

Tiin!

Dea mengernyit bingung melihat seseorang memberhentikan motor di depannya. Ia melihat lelaki seumurannya yang menaiki motor dan memakai helm.

"Siapa?" tanya Dea mendekati orang itu.

"Gue." Devan melepaskan helmnya dan turun dari motornya. Ia berdiri di hadapan Dea yang masih mematung di tempatnya.

"Siapa?"

"Gue."

"Siapa?"

"Gue, kalau lo nanya lagi gue sabet."

"Siap--pa?" Dea sengaja seperti itu dan menahan tawa melihat ekspresi Devan yang mulai jengkel.

"DEA!!"

"Nama lo Dea?"

"Astaga, udahlah. Males gue, Bye." Devan menaiki motornya lagi dan menyalakan mesin motor.

"Eits, tunggu. Kok ngambek, sih?" Dea menghentikan Devan membuat Devan menghela napas pasrah.

"Lo ngapain di sini?" tanya Dea sambil menerima helm yang sepertinya sudah disiapkan Devan.

"Jemput lo, soalnya gue yakin banget lo bakal dateng pagi, jadi gue bela-belain bangun lebih pagi. Gue nggak mau lo ada kejadian apa-apa selama perjalanan."

"Aduh, manis banget. Makasih, Devanku." Dea memakai helmnya dengan tergesa, ia merasa gugup dan malu. Namun, ia menutupinya dengan ucapannya.

"Sini gue pakein, lama banget make gitu doang." Devan menghentikan kedua tangan Dea yang sulit menyatukan tali helm itu. Dea diam di tempat seperti patung sementara Devan memasangkan tali itu.

"Ayo, naik."

"Eh? Em, iya." Dea menaiki motor masih dengan tatapan tidak percaya. Apa yang baru saja dirinya alami? Kenapa Devan jadi berubah begini? Bahkan kalimat yang dikeluarkan Devan membuat jantung Dea berpacu lebih cepat.

Bruum.

Motor Devan melaju sementara Dea memeluk pinggang Devan. Kebiasaannya memang sulit dihilangkan.

DEA ✓ (WM) TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang