Bersaing

156 51 73
                                        

"Merasa kesal dan risih memang mudah, yang sulit adalah menentukan perasaan itu rasa benci atau suka disaat benar-benar sudah kehilangan."

DEA

Cris berdecak kesal sambil memasukkan ponsel ke sakunya. Langkahnya memasuki rumah, kegelapan langsung menyambut di rumah, tidak ada siapa pun orang di dalam. Tangannya menyalakan saklar lampu dan masuk ke dalam.

Ponselnya kembali berdering.
"Kenapa lagi?!!" Cris melihat nama kontak panggilan itu dengan emosi. Ia merasa sangat kesal hari ini, ia menutup paksa panggilan yang sudah meneleponnya selama beberapa minggu terakhir ini berkali-kali.

Melewati dapur tanpa makanan satupun dan langsung menuju masuk ke dalam kamarnya. Setelah bersiap beberapa lama dan merasa siap dengan pakaiannya, ia keluar dengan menggunakan jaket dan memutuskan membawa motor yang lainnya setelah memutuskan tidak akan mengambil motor yang entah berada dimana saat digeletakkannya di tempat kecelakaan Dea dan meninggalkannya di jalan.

Sekali lagi panggilan masuk, ia sangat kesal dengan nomor yang selalu mengganggunya setiap saat.

"Kenapa?!! Bisa jangan ganggu gue lagi?! Gue udah hapus nomor lo dan ini terakhir kalinya gue jawab panggilan lo!!" Cris langsung mengeluarkan kalimatnya dan memutus sambungan lagi setelah menghilangkan nomor itu dari ponselnya.

Cris melaju dengan cepat setelah mengeluarkan kendaraannya, ia menutup wajahnya dengan masker dan helm.

Ckiittt!!

Suara motornya berhenti mendadak di depan pengendara lain. Hampir saja terjadi tabrakan, ia turun untuk menghampiri pengendara itu dan menatapnya kesal. 

"Oh, tenyata lo?!" Cris menatap tidak percaya siapa yang baru saja ingin bertabrakan dengannya.

"Sahabat lo mana?" Devan menghampiri Cris dengan marah sambil mencengkeram jaketnya, terlihat dirinya yang panik dengan seragam yang masih basah walau hujan sudah mulai reda.

"Kenapa?? Katanya lo nggak akan peduli?? Lo tau dari mana??" Cris hanya santai sambil melepaskan tangan Devan yang menarik jaketnya.

"Hari ini guru kasih kabar kalau Dea ngalamin kecelakaan!! Gue mau liat dia!!" teriak Devan penuh emosi menatap nyalang kepada Cris.

"Untuk apa? Lagipula semuanya tidak akan ada yang peduli sama Dea, lo nggak usah nambah masalah dan urusin penggemar lo aja sana kalau mau bantu Dea!! Setidaknya biarkan dia tenang sama sekolahnya!!" tegas Cris sambil menjalankan motornya lagi pergi menjauh dari sana tidak ingin memperpanjang masalah.

Sementara Devan menendang asal batu jalan kerikil disana dan memutuskan kembali ke sekolah untuk menanyakan rumah sakit Dea berada kepada guru yang memberikan berita Dea tadi.

Ia tidak peduli dengan udara dingin setelah hujan yang menerpanya membuat seragamnya yang basah berkibar kesana kemari.

Sampai di sekolah Devan langsung menuju ruang guru. Ia menerobos masuk dan menghampiri meja gurunya. Tidak peduli kepada orang-orang juga guru lain yang ada di sana yang mulai marah melihat Devan masuk sembarangan dengan basah kuyup tanpa mengucap salam.

"Beri tahu saya dimana Dea." Devan dengan wajahnya yang dingin menatap gurunya dengan tajam.

"Kamu mau ngapain? Kenapa nggak ada sopan santunnya? Kamu tadi udah bolos kenapa balik lagi?!! Padahal jam pulang bisa kamu tunggu beberapa menit, kamu malah langsung pergi gitu aja!! Saya tidak akan beri hukuman ringan kali ini!!" Ia menarik Devan dan menyuruhnya berdiri di tiang bendera sampai pulang sekolah. Walaupun Devan masih bersikeras menanyakan pertanyaan, gurunya tetap memaksa Devan untuk diam segera hormat kepada bendera.

DEA ✓ (WM) TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang