Terjatuh

119 40 60
                                        

"Semua perbuatan yang sudah dilakukan akan mendapat balasannya, bukan? Kemudian, apakah ketidaksengajaan berbuat buruk akan mendapat karma buruk juga?? Apalagi tuduhan tidak berdasar yang ditujukan kepadaku."

DEA

Malam berganti pagi, Dea melihat gadis itu yang bersiap keluar rumah setelah mandi dan membersihkan rumah.

Dea menatap Dea kecil yang menangis semalaman. Matanya terlihat sembab.

"Heh, mata lo kenapa? Gue ketawa nih, hahaha. Aduh ... lucu banget gue waktu dulu. Masih pendek banget lagi." Dea menahan tawanya melihat dirinya sendiri, setidaknya ia sedikit terhibur sekarang.

Beberapa menit berlalu, ia melihat gadis itu pergi mengunjungi suatu rumah. Setelah diperbolehkan masuk ke dalam, gadis itu dengan sopan memasuki rumah. Mungkin karena masih pagi, rumah itu hanya terlihat orang dewasa dan beberapa pembantu. Mungkin anak-anaknya sang tuan rumah masih tertidur.

Dea kecil mengunjungi alamat pamannya itu. Ia melihat istri pamannya yang tidak suka dengan keberadaannya.

"Ngapain sih anak itu? Nyusahin kita! Nanti nama keluarga kita bakal tercemar, apalagi kita bisa malu kalau ada kumpul keluarga besar!" ujar Istri pamannya itu membuat hati Dea sedikit merasa sakit.

Bagaimanapun dirinya juga darah daging keturunan nenek kakeknya bukan? Apa kedua eyangnya itu tidak ingin menerima dirinya lagi? Jujur saja Dea sudah tidak pernah berkomunikasi dengan keluarga besarnya karena ia memang sudah seperti dianggap tidak pernah ada.

"Dea kita bicarain di rumah kamu, ya, sekalian saya mau berangkat kerja." Dea kecil hanya mengangguk setuju. Ia juga tidak nyaman berada disana.

"Aku berangkat dulu, Sayang." ucap paman Dea kepada istrinya, namun sang istri mendekat ke telinga pamannya dan mengatakan sesuatu yang tentu saja masih dapat terdengar.

"Sudah kubilang, aku nggak setuju kamu masih berhubungan sama keluarga si pembunuh itu." bisik istrinya sambil menatap Dea kecil dengan sengit.

Dea mendengus kasar bersamaan dengan dirinya yang berpindah tempat lagi. Sekarang ia melihat Dea kecil yang sudah beberapa tahun lebih tua.

"Astaga!! Udah besar aja. Yah ..., Nggak lucu lagi. Gue udah besar sekarang."

Dea memperhatikan Dea kecil dipojokkan dan di kerjai oleh beberapa murid lain.

Bagi Dea ini pemandangan yang biasa melihat dirinya sendiri pasrah diasingkan dan menjadi target beberapa murid penindas.

"Apa gue terlihat culun, ya? Perasaan biasa aja. Padahal gue juga nggak suka ikut campur urusan orang, kenapa gue selalu yang kena sial terus?"

"Heh!! Jadi orang jangan sombong makanya!!"

Dea mengingat beberapa kata yang tidak ia mengerti. Sejak kapan dirinya sombong?? Ia tidak punya hal yang pantas diperlihatkan dan dipamerkan.

"Kenapa?" tanya Dea yang sudah beranjak remaja itu. Gadis itu mengeluarkan suaranya yang pelan setelah menerima tumpahan air minum dan beberapa apel busuk.

"Kenapa ya??" Dea mendekati tempat itu dan juga bertanya kepada murid yang mengganggu Dea.

"Sadar diri!! Lo selalu menjauhkan diri menganggap sekitar lo sampah!! Bahkan saat guru bertanya lo selalu menatap dingin. Lo nggak bisa bersikap begitu!! Kita ini pembela orang lemah!! Jangan membuat orang takut sama lo!!" Dea yang mengingat ucapan tidak masuk akal itu hanya menatap kesal dan memutuskan meninggalkan tempat itu berkeliling sekolah.

DEA ✓ (WM) TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang