Suara

68 23 12
                                        

"Sebuah kalimat janji memang dapat dengan mudah diucapkan, tetapi apakah menepatinya atau tidak yang menjadi penentu kepercayaan seseorang."

DEA

Gadis itu membuka matanya perlahan. Ia memeriksa sekitarnya dan mencoba duduk dari posisi tidurnya.

Ia mulai beranjak turun dari ranjang rumah sakitnya sambil menyesuaikan keseimbangan tubuhnya.

"Cris, Devan, Paman. Kalian ada di mana?" panggilnya dengan lemas. Ia mulai terasa sesak sekaligus takut, tangannya memegang kedua telinganya mencoba menepuk-nepuk bahkan menariknya.

"AAA!!"

"Dea! Tenang, ada gue. Tenang, tenang, ada gue." Cris masuk ke dalam ruangan setelah mendengar suara teriakan Dea yang histeris. Ia mengelus punggung dan kepala Dea mencoba menenangkannya.

"Cris."

"Ada gue." Dea memeluk Cris erat sambil terisak pelan. Kepalanya ia gelengkan dengan cepat sambil merasa sesak di dadanya.

"Cris, gue takut. Jangan pergi dari gue." Dea semakin merasa napasnya memburu dan pandangannya buram.

"Hei, Dea. Lo liat gue!" Cris mencoba mendongakkan kepala Dea untuk menatapnya.

"Ada gue di sini," ucap Cris perlahan, berharap Dea dapat menangkap maksud darinya.

Dea yang mencoba membaca gerakan mulut Cris semakin histeris dan memeluk Cris lebih erat lagi kemudian dirinya pingsan.

"Dea, tolong lo yang kuat. Gue nggak mau lo kayak begini, kemana sahabat gue yang bikin kesal terus?" Cris mengangkat tubuh Dea dan membaringkannya di ranjang kembali. Ia duduk di sampingnya sambil memegang tangan Dea dengan keadaan pasrah.

"Seperti hasil pemeriksaan, pasien Dea mempunyai trauma. Bahkan, sekarang ia memiliki hematophobia. Phobia ini termasuk jenis phobia spesifik yang ditandai dengan rasa takut atau cemas luar biasa ketika melihat darah."

"Dea punya phobia? Saya tidak tahu, Dok."

"Phobia memang muncul mendadak karena pemicu suatu hal. Sepertinya ini berhubungan dengan masa lalu yang ia bilang alami saat mengalami koma. Dalam tidurnya itu, pemikiran pasien Dea membangkitkan rasa takut, trauma dan kepanikan yang terjadi pada masa lalunya dan berhubungan dengan darah."

"Bisa disembuhkan, Dok?"

"Tentu saja, jika saja pasien memiliki inisiatif juga untuk sembuh."

Cris mengacak rambutnya dengan gusar setelah mengingat perkataan dokter tentang kondisi Dea yang terus memburuk sejak siuman dari komanya.

Cris melirik ke arah meja dan melihat surat persetujuan dari dokter yang sudah memperbolehkan Dea pulang.

Sebenarnya Dea sudah sangat pulih karena hampir dua bulan di rawat di rumah sakit, namun kondisi Dea yang sering berteriak dan kambuh membuat Cris semakin menimang-nimang membiarkan Dea pulang.

Drak!

Devan masuk ke dalam dengan keadaan tubuhnya yang sudah mulai membaik. Ia juga sudah dapat bersekolah kembali.

"Gimana? Katanya udah mau di bawa ke rumah," tanya Devan mendekati Dea di sisi ranjang lainnya.

"Gue nggak mau Dea pulang dulu, dia masih sakit."

"Gue nggak mau! Gue nggak betah! Bawa gue pulang!" Dea mendadak sadar dan berteriak setelah terbangun melihat sebuah surat yang ada di tangan Cris ingin di ambil kembali.

DEA ✓ (WM) TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang