"Rasa hampa selalu menemani kemanapun kita berada, hal itu dapat disembunyikan jika benar-benar ada orang lain yang setia ada di sisi kita."
—DEA—
"Cris!"
"Tante, Dea udah gapapa?" Cris menghampiri perawat yang merupakan teman paman Dea itu dan melihat wanita itu sedang mencatat sesuatu.
"Udah, saya mau kamu sekalian taruh ini juga di sebelah meja Dea." Cris menerima suatu kertas dan melihat biodata Dea yang tertera di sana.
"Untuk apa?" tanya Cris.
"Nanti dokter mau memeriksa beberapa pasien, kertas itu untuk tau nama sama penyakit yang lagi diderita pasien. Nah, yang kamu pegang itu punya Dea. Emang kamu kira kita cuma ngurus Dea kamu?"
"Kenapa nggak tante aja? Kan ini kerjaan tante ...."
"Sekalian kamu mau ke sana, kan?"
Perawat itu menaik-turunkan alisnya dan tersenyum lebar kepada Cris.
"Ya udah, deh. Saya kan anak baik."
"Nah, begitu dong! Makasih, Cris!"
Cris berjalan pergi dari sana dan segera menuju ruangan Dea. Ia sebenarnya tau mengapa perawat tadi memintanya menaruh kertas itu. Tentu saja alasannya agar memanfaatkan apapun yang bisa digunakan, apalagi perawat itu tau Cris sedang butuh alasan agar dapat berada lama di ruangan Dea.
Melewati beberapa perawat. Ia mengintip ke dalam ruangan Dea dan melihat Devan yang berada di dalam ruangan sambil menautkan tangan Dea dengan jarinya.
"Tuh anak nggak punya kerjaan lain, ya?!" Cris mendengus kasar. Ia masuk ke dalam dan meletakkan papan kertas di atas meja.
"Ngapain lo?"
"Gue bantu perawat buat naroin papan nama ini, nggak kayak lo cuma jadi pengganggu di sini."
Devan berdecak malas dan tidak memedulikan Cris yang tersenyum sinis.
Cris merasa menang dan menaruh bunga yang dibelinya tadi ke dalam vas kaca di dekat jendela. Ia tidak sengaja menangkap sosok bayangan yang berada di parkiran. Ruangan Dea memang menghadap ke jalan raya.
"Gue kayak kenal .... Siapa, ya?" Cris mencoba memperjelas penglihatannya, tetapi dirinya mendapat balasan tatapan tajam dari seseorang itu.
"Kenapa dia disini?" Cris kemudian teringat dengan pesan dari adiknya. Ia memeriksa ponsel yang diberikan tadi.
Cris duduk di sofa dan membuka semua pesan yang ada disana. Dirinya sedikit kesal karena banyaknya pesan dan tidak tahu yang mana adiknya maksud ingin beritahu.
Matanya terhenti di suatu pesan dari kontak yang tidak ada namanya. Ia menekan pesan itu.
Dirinya terkejut dan tidak percaya apa yang telah dibacanya. Cris membaca semuanya dari awal sampai akhir beberapa kali.
Setelah beberapa menit berlalu, ia kembali merapikan barangnya.
"Gue pamit dulu. Jagain Dea disini, gue percaya sama lo." Cris keluar dari rumah sakit, ia kesal pada adiknya yang tidak langsung mengatakan hal sepenting ini.
"Dea, gue harap lo baik-baik aja nanti."
Sementara Cris mendadak pergi dengan cepat, Devan hanya menidurkan kepalanya sambil memainkan jari Dea.
"Lo kapan bangunnya? Gue mau dengar pernyataan cinta lo lagi. Nanti gue terima kok." Devan menatap wajah Dea yang terlihat tertidur pulas. Semakin lama dilihat Devan merasa Dea semakin menarik di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEA ✓ (WM) TERBIT
Teen FictionGadis kuat dan keras kepala yang harus kehilangan satu persatu kebahagiaannya sejak kecil. Bahkan di saat dirinya menginjak usia remaja di mana seharusnya bersenang-senang, ia harus kehilangan pendengarannya. Setidaknya ia tidak akan mendengar caci...