"Seseorang yang paling berharga belum tentu selalu diingat. Lain lagi dengan seseorang yang sudah menetap di hati."
—DEA—
Dea bersenandung mengikuti gurunya dari belakang. Tangannya dia ayunkan di samping tubuhnya selama berjalan mengikuti guru di depannya.
"Kenapa saya dipanggil ke ruang kepala sekolah? Apa ayah saya datang??" tanya Dea dengan penasaran.
Guru itu berhenti berjalan dan berbalik menghadap Dea. Menatap Dea yang masih tersenyum manis padanya.
"Maafin saya, Nak. Kamu anak baik selama saya kenal kamu, jangan terlalu menganggap serius perkataan mereka, kamu setuju untuk pindah dengan ayahmu saja. Saya nggak kuat liat Dea kesayangan kami semakin menderita." Pengungkapan gurunya membuat Dea terkejut mendengarnya dan segera membalas pelukan gurunya yang mendadak menangis sambil memeluknya.
"Dea kuat dan sudah memutuskan untuk tetap disini. Walau mereka sangat membenci Dea, Dea akan selalu tersenyum, kok. Dea mau nunggu buat ketemu ayah dulu, baru nanti Dea buat keputusan mau pindah dengan ayah atau tidak."
Dea merasakan usapan dari gurunya, ia sangat senang masih ada yang memberikan simpati dan semangat untuk dirinya selain sahabat dan ayahnya.
Mereka melanjutkan perjalanan ke ruang kepala sekolah. "Ibu kembali ke kelas, kamu masuk aja," ujar gurunya sebelum melangkah pergi dari sana meninggalkan Dea.
Dea menghela napas dan membuka pintu perlahan sambil mengucapkan salam.
"Permisi," ucap Dea.
"Masuk."
"Bapak, ada apa panggil saya?" Dea melangkah masuk dan mendekati kepala sekolahnya yang sedang duduk.
"Ayah kamu telepon saya lagi."
"Apa katanya?"
Dea merasa gugup dan mencengkeram ujung seragamnya. Jantungnya berdetak kencang menunggu kelanjutan ucapan pria itu.
"Nggak usah tegang, lagi nggak ada siapapun di sini. Duduk aja dulu."
"Baik, Paman." Dea menghela napas dan duduk di hadapan kepala sekolahnya yang merupakan pamannya itu.
"Kamu udah buat keputusan akan ikut ayah kamu atau tidak?" tanya Bagas, paman Dea yang merupakan saudara ayahnya itu.
"Saya masih pikir-pikir, mungkin saat nanti ketemu ayah saya udah buat keputusan." Dea menatap ujung sepatunya sambil ragu memainkan kedua tangannya.
"Kalau begitu minggu depan kamu udah buat keputusan."
"Iy—Eh?!! Apa kata Paman tadi?!" Dea terkejut mendengarnya, tanpa sadar ia berdiri dari tempatnya dan menggebrak meja.
"Ayah kamu bakal ke sini minggu depan, jadi keputusan sudah harus dibuat, kan?" Bagas tersenyum ke arah Dea, ia ikut turut senang atas kepulangan ayah gadis itu.
"Be--beneran?" lirih Dea sambil menahan tangisnya. Ia sangat tidak percaya mendengar kabar itu.
"Haha, iya. Mending kamu buat keputusan secepatnya." Bagas ikut terkekeh pelan melihat ekspresi bahagia keponakannya itu.
"Te--terimakasih, Paman!! Dea sayang Paman! Kalau begitu, Dea mau bolos dulu buat mikirin keputusan Dea!" Dea memeluk pamannya sebentar kemudian berlalu pergi keluar dari ruangan itu tanpa menunggu balasan Bagas.
"Hei! Dea!! Bukan berarti kamu bolo—"
Brak!
Dea menutup pintu dengan keras dan berlari ditemani senyumnya yang mengembang. Di lorong sekolah itu ia bergerak kesana kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEA ✓ (WM) TERBIT
Fiksi RemajaGadis kuat dan keras kepala yang harus kehilangan satu persatu kebahagiaannya sejak kecil. Bahkan di saat dirinya menginjak usia remaja di mana seharusnya bersenang-senang, ia harus kehilangan pendengarannya. Setidaknya ia tidak akan mendengar caci...
