Prolog

388 42 0
                                    


****

Sebuah undangan pernikahan menjadi atensi tiga orang yang kini duduk lesehan di lantai. Di tengah, si penerima undangan menatap lurus-lurus ukiran nama yang tercetak. Satu nama amat sangat dikenalnya. Sementara nama lain cukup asing. Entah mengapa rasanya hampa. Padahal, dia kira sudah bisa melupakan nama yang pernah dia harapkan bersanding dengan namanya itu. Nyatanya dia masih belum rela.

Usapan di bahu kanan terasa, disusul ucapan untuk sabar yang terdengar prihatin. Tahu jika ini cukup berat baginya. Kemudian dengusan dari sebelah kiri mengambil alih atensinya. Terlihat senyum meremehkan begitu kepalanya menoleh. Tak sampai disitu, dia kemudian berucap santai.

"Gak usah berlebihan, masih banyak jomblo di luar sana. Dunia gak berhenti saat dia nikah."

"Jomblo emang banyak, tapi ini beda cerita," sambar ornag yang duduk di sebelah kanannya. "Lo gak tahu sih, gimana rasanya ditinggal nikah. Apalagi sama orang yang masih kita cintai."

Sementara dirinya hanya diam, menunggu kiranya balasan apa yang akan dilontarkan oleh tetangga yang tidak punya empati itu. Namun sampai beberapa saat tidak ada balasan atas ucapan itu. Orang yang menjadi objek pertanyaan hanya berkedip lambat. Matanya menyorot datar kemudian menggendikan bahu dengan acuh. Tampak tidak peduli sebelum berujar tanpa nada.

"Seenggaknya dia gak selingkuh."

ElistasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang