*****
Seperti yang sudah-sudah, Noe akan membeli makanan dan memakannya di kontrakan begitu pulang kerja. Membawa pulang tiga porsi makanan berbeda dalam satu plastik. Titipan dari kedua tetangganya yang tidak tahu sopan santun dan selalu merepotkan. Yang lebih mengherankan lagi, dirinya selalu mau dititipi. Padahal di antara mereka bertiga, dialah yang biasa pulang paling terakhir.
Rutinitas itu tetap berlanjut sampai saat ini. Bahkan, ketika satu tetangganya sudah pindah sejak memutuskan untuk menikah. Bedanya, dalam satu plastik yang saat ini sedang dibongkar Dian, hanya ada dua porsi makanan, miliknya dan perempuan itu. Selain jumlah makanan yang berkurang, tempat mereka makan pun berubah. Ketika masih ada Kinan di tengah-tengah mereka, perempuan itu yang biasanya memutuskan mereka akan makan dimana. Mungkin efek usia Kinan yang lebih muda, membuat mereka yang punya adik mau-mau saja mengikuti ucapan Kinan.
Sejak kepindahan Kinan, keduanya hanya makan di depan kamar Noe. Alasannya, Noe malas kalau harus berjalan ke kamar Dian. Alasan yang langsung dicibir oleh Dian saat itu juga. Mengingat jika mereka hanya dipisahkan oleh satu kamar kontrakan. Seberapa jauh memang jaraknya? Namun meski begitu, Dian tetap menuruti keinginan Noe. Cukup sadar diri sudah merepotkan Noe, tidak perlu lagi melunjak hanya untuk meributkan tempat makan. Toh, ada untungnya juga, kamarnya jadi tidak kotor.
"Eh Bang lo tahu gak?"
Gerakan Noe yang sedang melepas karet dari bungkusan terhenti. Matanya terpejam sesaat begitu mendengar nada suara Dian yang antusias. Merasa heran untuk sesaat, tidakkah perempuan itu merasa lelah setelah bekerja seharian. Bagaimana bisa, Dian masih punya energi untuk menceritakan tentang gosip ataupun kejadian yang dialaminya. Kalau tidak ingat perutnya yang harus diisi, Noe akan memilih langsung tidur begitu tiba di kontrakan.
Noe merasa Kinan sangat beruntung. Perempuan itu sudah terbebas dari koran bicara yang saat ini sedang menatapnya, menunggu respon. Padahal tanpa perlu responnya, Dian akan tetap bercerita. Maka setelah menghela napas, Noe menjawab singkat. "Tidak."
"Sama!" pekik Dian dengan nada tidak percaya. "Gue juga baru tahu tadi sore," lanjutnya.
"Tahu apa?" tanya Noe agak penasaran. Sebab, biasanya Dian tidak pernah tidak tahu tentang apapun.
Sesuap nasi dan bebek goreng lebih dulu masuk ke mulut Dian. Tampaknya kali ini, masalah perut lebih penting dibanding gosip yang akan diceritakan. Begitu makanan di mulut tertelan, tangan kirinya menunjuk bekas kamar Kinan. Kamar yang biasanya gelap, bahkan sampai malam ini karena belum ada penghuni baru. Yah, itu yang diketahuinya dan Noe. Sampai tadi sore, saat dirinya membayar uang kontrakan, ibu kontrakan menanyakan tentang tetangga barunya.
"Kamar itu udah ada yang ngisi."
"Setan yang isi," sahut Noe asal. Kembali fokus pada bebek gorengnya yang masih mengepul.
"Yeh, gak percaya. Ibu kontrakan bilang, itu kamar udah ada yang ngisi dari seminggu yang lalu."
Ucapan Dian membuat Noe menatap lebih lama ke arah kamar kontrakan yang diapit kamarnya dan Dian. Meneliti sesuatu, yang kiranya bisa memvalidasi ucapan perempuan yang sedang makan di sebelahnya. Jika memang kamar itu sudah ada yang mengisi seminggu yang lalu, mengapa tak pernah sekalipun lampunya menyala di malam hari?
"Masa sih Yan?" tanya Noe pada akhirnya.
"Aneh kan, Bang? Kayak gak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Atau jangan-jangan ... dia mati lagi di sana."
Sebuah irisan timun melayang ke wajah Dian. Pelakunya kini memandang perempuan itu dengan datar. "Jangan bicara melantur kau."
Melupakan protesnya setelah dilempar timun, Dian berujar. "Ya masa, udah seminggu gak pernah keliatan Bang. Wajar dong gue ngerasa aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Elistasi
Romance#ProjectAretha 90-H Noe sangat paham, usaha jelas dibutuhkan untuk mencapai sesuatu dalam hidup. Maka dia terus melakukan segala usaha terbaik, agar mencapai hasil terbaik pula. Usaha yang kini mengantarkan dirinya bisa seperti sekarang, mapan dan h...