22. Perhatian?

43 13 2
                                    

Jadilah pembaca yang bijak, jangan lupa tinggalkan jejak. Komen, vote dan follow.

Happy Reading All ...

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<

"Kau betah pakai sepatu itu, Din?"

Gerakan tangan Dinda yang sedang menggerakkan kursor kesana-kemari terhenti. Kepalanya menoleh ke arah Noe yang saat ini sedang fokus dengan layar di depannya. Merasa heran sebenarnya Noe ini niat bertanya atau tidak. Maka Dinda hanya menjawab asal-asalan.

"Kenapa? Lo mau coba pakai sepatu gue, Bang?"

Menegakkan punggungnya, Noe menoleh ke arah Dinda. "Ya kali aku mau pakai. Melihatnya saja kakiku sudah pegal."

"Nah itu tahu," seru Dinda sambil menjentikkan jari. "Ngapain tanya lagi kalau gitu."

Noe menghela napas perlahan sebelum melanjutkan maksud ucapannya. "Maksudku, kalau tidak nyaman kenapa kau masih pakai sepatu jerapah begitu? Tinggi tidak, pegalnya iya."

Sebelum Dinda menjawab, Revan lebih dulu tertawa keras. Penggambaran Noe benar-benar mengundang tawanya. Kasihan para desainer sepatu kalau tahu Noe menamainya dengan sepatu jerapah. "Bener tuh, Din. Kalau mau tinggi mah pake engrang aja."

Mendengar ledekan Revan membuat Dinda berdecak. "Dasar ya, laki-laki tuh enggak ngerti kebutuhan perempuan. "

"Kebutuhan kalau menyiksa buat apa, Din?" balas Noe dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

"Bang Noe," panggil Dinda. "Sepatu yang lo sebut sepatu jerapah ini menambah kesan sopan, formal dan cantik pastinya buat penampilan perempuan."

"Masa sih, Din?" tanya Revan tidak percaya. "Kayaknya lo sama aja mau pakai sepatu itu atau enggak. Tetep pecicilan, enggak peka dan pas-pasan."

"Diem lo!" bentak Dinda tidak terima. Bagaimana bisa Revan membandingkannya seperti itu. "Gini deh, kalau misalkan kalian jadip tamu di kantor terus ketemu gue pake sendal jepit, kalian mau mikir apa?"

"Sepatu lo rusak mungkin," sahut Revan dengan kening berkerut.

"Hmm, kau habis dari kamar mandi mungkin," timpal Noe kemudian.

Dasar laki-laki! Bola mata Dinda dibuat berotasi atas jawaban keduanya. "Ck kalian nih, ya. Intinya kalian heran dong karena gue enggak pake sepatu? Pake sepatu kayak gini tuh bukan cuma buat gaya-gayaan. Ya kali nahan pegel sama sakit cuma buat keliatan tinggi."

Dinda mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangan. Memberikan informasi seperti ini kepada laki-laki membutuhkan energi lebih. "Ada dari kita-para perempuan, yang emang diharuskan meski peraturannya enggak tertulis. Ada juga yang emang karena nyaman makenya jadi kebiasaan. Pokoknya gitu deh."

Di tempatnya Noe dan Revan manggut-manggut, berusaha mengerti meski sebenarnya masih bingung. Keduanya saling lirik sebelum mengangkat bahu. Hal itu tidak luput dari perhatian Dinda yang langsung berdecak keras.

"Lagian lo kenapa sih, tiba-tiba nanya kayak gini?" tanya Dinda penasaran. Bertahun-tahun duduk bersebelahan dengan Noe sebagai rekan kerja, baru kali ini lelaki itu menanyakan kenyamanannya saat memakai sepatu tinggi. Dinda tidak mau terlalu percaya diri menganggap Noe menyukainya, makanya dia bertanya.

"Semalam aku lihat perempuan yang jalan agak jauh mengeluh, padahal dia cuma pakai sandal jepit. Lalu tadi pagi dia malah memakai sepatu seperti kau, Din," jawab Noe tanpa menyebutkan identitas. Akan aneh kalau Noe sepenasaran itu terhadap sepatu wanita karena El. Meski Noe sendiri sudah merasa dirinya aneh.

ElistasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang