25. Kekanakan

22 9 0
                                    

Jadilah pembaca yang bijak. Jangan lupa tinggalkan jejak, vote, komen and follow

Happy Reading All ...

"Lo sehat El?"

"Lo mau gue sakit gitu?"

Ben meringis pelan saat mendapatkan pertanyaan balasan itu. "Ya enggak juga," jawabnya.

"Terus kenapa?"

Kenapa katanya? Ayolah. Siapa pun yang sudah berpapasan dengan El pagi ini pasti merasa ada yang aneh. Ada binar dalam mata perempuan itu hari ini. Belum lagi El juga sudah kedapatan beberapa kali tersenyum oleh Ben. Senyum itu perihal biasa. Tapi tidak biasa saat El yang melakukannya, disaat memeriksa dokumen pula. Terlebih dokumen yang ia serahkan pagi ini agak bermasalah. Karena sudah tahu sifat El yang akan mengamuk, ia sudah mempersiapkan diri sejak tadi. Lalu hasilnya, wajah El tenang-tenang saja sampai ia bertanya barusan.

"Lo senyum-senyum terus dari tadi," tanggap Ben pada akhirnya.

"Dan gue yang senyum-senyum terus ini jadi masalah gitu?"

Ben mengangguk cepat, membuat El di kursinya memicingkan mata. "Rasanya horor, El. Beneran deh. Gue biasa liat lo marah-marah soalnya."

"Pagi ini gue enggak punya tenaga buat marah-marah jadi," El menutup map yang sedang dibacanya lalu mendorongnya ke arah Ben. "Suruh mereka perbaiki ulang. Gue tunggu sampai sore ini. Soalnya bisa jadi besok gue udah punya tenaga buat marah-marah lagi."

Tanpa banyak bicara Ben mengambil map itu. Ia keluar dari ruangan El, menyerahkan dokumen berantakan untuk diperbaiki si pembuat. Selesai dengan itu, Ben kembali ke ruangan El dan menanyakan alasan perempuan itu tampak agak manusiawi.

"Gue ketemu Arka semalem," ujar El dengan kepala yan ditopang sebelah tangan.

Suara El yang kelewat santai justru membuat Ben waspada. Pasalnya, ini kali pertama El menyebut nama Arka tanpa kemarahan. Tidak ada nada sinis atau kebencian yang terselip saat nama lelaki itu disebut. Meski begitu, Ben cukup yakin jika Arka bukan alasan El yang terlihat aneh hari ini. "Dia ngapain?"

"Dia ngikutin gue," jawab El agak kesal. Kini Ben merasa wajar dengan nada suara El.

"Dia tahu tempat tinggal lo? Dia ngapain aja? Lo mau gue cariin tempat tinggal lain? Atau kalau mau lo bisa tinggal di rumah nyokap gue. Di–"

"Tenang Ben," sela El, memotong segala saran yang entah bisa berapa lama lelaki itu keluarkan. "Dia meluk gue dan yah, bicara enggak penting. Tapi dia belum tahu tempat tinggal gue."

Untuk pertama kalinya El mensyukuri pilihan Ben memarkirkan mobilnya dengan jarak cukup jauh. Kalau tidak tempat tinggalnya pasti sudah diketahui oleh Arka. "Jadi lo engggak perlu cariin gue tempat tinggal baru."

"Tinggal nunggu waktu buat dia tahu, El. Mending kita antisipasi kalau lo–"

"Enggak perlu, Ben," potong El dengan tenang. "Gue selalu menghindar dari Arka, tapi bukan berarti gue enggak akan siap buat berhadapan sama dia, kan?"

Lewat diamnya Ben menjawab. Anggukan kepalanya juga mempertegas jika suatu hari El harus siap berhadapan dengan Arka. Lantas setelahnya berkata, "Masalahnya sekarang lo masih belum siap tuh."

El mengangguk sekali, menyetujui. Dan sebelum Ben kembali bersuara, ia cepat-cepat menambahkan. "Makanya untuk sementara kalian bantuiin gue untung menghindar dulu dari dia."

"Dan akhirnya kita juga yang repot."

Itu bukan suara Ben. Pintu ruangan El baru saja dibuka dan sosok Radhi muncul setelahnya. Berjalan dengan kedua tangan melesak ke dalam saku celana.

ElistasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang