13. lagi

49 16 0
                                    

Ketika bangun keesokan harinya, Noe tidak heran saat mendapati dirinya berada di rumah sakit. Begitu juga saat menemukan El yang terlelap di sofa. Semalam di antara batas sadar dan tidak, Noe ingat El memang datang tidak lama setelah dirinya terjatuh. Membantunya kembali ke tempat tidur yang saat itu benar-benar tidak punya tenaga. Bahkan sampai Radhi datang dan mengkhawatirkan kondisi El, Noe tahu juga tahu.

Seingatnya Noe baru terlelap saat Radhi meninggalkan ruang rawatnya. Noe mendengar semuanya, pembicaran El dan Radhi mengenai dirinya. Bagaimana Radhi melarang El berhubungan lebih jauh dengannya. Juga tentang Radhi yang seperti cemburu karena El elah menolongnya. Hanya saja, yang tidak ia mengerti, bukankah El ini sedang patah hati. Lantas, apa Radhi yang membuat El patah hati itu Radhi?

Noe yang sedang dalam posisi duduk itu segera menggeleng. Rasanya janggal. Radhi menyediakan tempat bagi El untuk menenangkan diri setelah patah hati. Lalu Radhi cemburu karena El malah memberi sedikit pertolongan kepadanya. Mungkinkah jika Radhi menyukai El? Atau mungkin Radhi, El dan entah siapa terlibat semacam cinta segitiga?

"Butuh sesuatu?"

Refleks Noe menoleh, menatap El yang baru bangun tidur sebelum menggelengkan kepala.

"Atau butuh seseorang, seperti Naila mungkin?"

Tatapan Noe yang awalnya biasa berubah. Penasaran dengan hal yang membuat El menyebut Naila. Rasanya saat sesi curhat malam itu, tidak sekalipun nama Naila di sebut. Maka Noe memutuskan untuk bertanya. "Kenapa Naila?"

Dengan santainya El mengangkat bahu sambil berujar, "Semaleman lo nyebut nama dia. Jadi, gue pikir lo mungkin butuh dia."

Ah, rupanya ia mengigau semalam. Wajar saja El menyebut Naila. "Enggak perlu. Sebelumnya, terima kasih atas pertolongan kau semalam."

Mengalihkan pembicaran eh? Boleh juga. El pun enggan memperpanjang nama yang telah membuatnya tidak bisa tidur nyenyak semalam. Siapa pun itu Naila dan apa hubungannya dengan Noe sama sekali bukan urusannya.

"Gue rasa Radhi lebih berhak untuk dapat ucapan terima kasih itu." Mengingat bagaimana kesusahannya Radhi semalam dan dia sama sekali tidak berniat membantu. Mengingat wajah cemberut Radhi seketika membuatnya tersenyum.

"Iya, nanti aku juga berterima kasih dengan dia," ujar Noe meski heran apa yang membuat El tersenyum.

Dering ponsel terdengar saat kalimat Noe selesai. El merogoh saku celananya, mengeluarkan benda persegi dari sana. Begitu mendapati nama tertera di layar, matanya hanya memandangi ponsel tanpa berniat mengangkatnya. Hingga panggilan itu berakhir dengan sendirinya. Tetapi, rupanya orang itu tidak menyerah dan segera meneleponnya lagi.

Mendesah pelan, El pun bangkit dan melangkah mendekat ke ranjang Noe. Tiba di dekat lelaki itu, ia sedikit mencondongkan tubuhnya. Punggung tangannya lalu terulur untuk memeriksa suhu tubuh Noe. Tanpa peduli dengan Noe yang terkesiap saat wajah mereka terpaut cukup dekat.

"E-El," panggil Noe terbata.

Dengan alis terangkat El memundurkan tubuh ke posisi semula. Memperhatikan wajah Noe yang memerah. Ini aneh, panas Noe sudah turun walau belum hilang. "Jangan lupa minum obatnya, gue keluar dulu," pamitnya kemudian meski masih bingung. Mungkin Noe harus istirahat lebih lama.

Sepeninggal El, Noe mengusap wajahnya kasar. Tidak menyangka reaksi tubuhnya akan seperti itu jika berada di dekat El. Padahal di depan Naila saja, ia masih bisa mengontrol ekspresinya. Jadi kenapa dia seolah tidak bisa berkutik saat di dekat El?

Belum lima menit Noe memikirkan tentang hal itu, pintu ruangannya tiba-tiba terbuka dan tertutup dengan keras setelahnya. Pelaku yang baru saja membanting pintu itu merupakan orang yang sedang ia pikirkan. El melangkah lebar ke arahnya dengan ekspresi yang baru pertama kali ia lihat. Begitu El berhenti didekatnya, ia bisa melihat jelas wajah El yang keruh. Tampak bingung, marah, dan ... sepertinya putus asa. Hanya sesaat sebelum El menunduk dan langsung mencium Noe tanpa aba-aba. Mereka berciuman, lagi.

ElistasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang