Sebenarnya El sama sekali tidak mengerti kriteria dari orang baik. Awalnya El kira ayahnya orang baik karena selalu membelikannya mainan. Sampai kemudian El melihat ayahnya memukul sang ibu. El juga mengira ibunya orang baik karena selalu membacakan dongeng setiap malam. Sampai El melihat ibunya hanya diam dan menangis ketika dipukuli.
Lalu keluarganya yang lain juga El kira orang baik. Sampai akhirnya orang tuanya bertengkar, dan mereka bersikap acuh kepadanya. Pun dengan pengasuhnya yang selalu menemaninya bermain. El sadar pengasih itu tidak akan mau bermain dengannya jika tidak dibayar bukan? Makanya tidak salah kalau El bilang kepada Radhi, jika orang bisa baik karena keadaan, sama halnya dengan orang jahat.
Sayangnya, meski sudah banyak diperlihatkan contoh nyata, El tetap terjerat oleh salah satu orang yang dia anggap baik. Dan El cukup menyesal akan hal itu. Jadi ketika Radhi mengatakan tetangganya orang baik, El merasa harus menjauhi mereka. Tidak mau diperdaya lagi dengan kebaikan yang hanya sesaat. Terlebih ketika sudah sampai mempercayainya. Itu benar-benar melelahkan.
Namun tampaknya, kedua tetangganya ini orang baik yang sudah terlatih dengan baik. Mereka–tepatnya Dian– mengeluarkan segala usaha juga tipu daya. Sehingga sekarang El sedang makan bersama Noe dan Dian. Bahkan hingga selesai makan pun El tetap tidak bisa pergi. Dia duduk diam mendengarkan Noe dan Dian yang entah membahas apa. Tidak jelas kesana-kemari.
“Nama lengkap lo apa El?”
Ditanya begitu El malah mengerjapkan mata. El mengerti jika Dian ingin melibatkan dirinya dalam pembicaraan. Dian sedang berusaha mengakrabkan diri dengannya. Nah, masalahnya El tidak mau diakrabi atau dilibatkan dalam pembicaraan. Namun melihat tatapan Dian yang penasaran, El tergoda juga. Di tambah Noe yang walaupun tidak menunjukkan rasa penasarannya, kini tengah memandanginya. Seolah menunggu jawaban. Saat ini El merasa dirinya benar-benar lemah.
“Elvano Numatya.”
“Emang gak ada femininnya sih nama lo. Wajar kalau ada yang salah ngira lo itu laki-laki,” komentar Dian. Di sampingnya Noe tidak berkomentar. Tapi pemikirannya tidak jauh beda dari Dian.
“Umur lo berapa?” tanya Dian lagi.
“Dua tujuh,” jawab El yang kemudian mendesah.
“Wah kita seumuran, El. Kalau Bang Noe dua lapan. Serah lo deh mau panggil dia Bang juga atau enggak. Dia mah, enggak pernah protes,” jelas Dian tanpa diminta.
Di tempatnya Noe mencibir. “Kalau protes pun, kau tak dengar Yan.”
Mengabaikan Noe, Dian kembali bertanya. “Lo tinggal dimana sebelumnya?”
“Apartemen.” Dan lagi-lagi El mendesah karena harus menjawab pertanyaan Dian. Ini sampai kapan? Bisa-bisa mereka mengenalnya dalam waktu satu hari.
“Kau tak kerja?” Untuk pertama kalinya Noe bertanya.
“Cuti.”
Jawaban El cukup menjelaskan kenapa setiap pagi mereka tidak pernah berpapasan. Karena ketika mereka pergi bekerja, El mungkin masih tidur. Hanya saja bagi Noe masih agak mengganjal. Sebab El cuti terlalu lama. Memang apa pekerjaan El?
“Mulai kerja lagi kapan?”
“Minggu depan.”
“Kerja apa dan dimana. Kalau gue wartawan dan Bang Noe ini editor. Ter–”
“Sudahlah Yan,” interupsi Noe. “Ini sudah malam. Lanjut besok lagi kan bisa. Memangnya kau tidak meliput besok?”
Ekspresi Dian berubah masam. Malam Senin itu benar-benar menyebalkan. “Gue balik dulu, El,” ucapnya lalu beranjak. Kembali ke kamar dan menutup pintu. Meninggalkan Noe dan El yang masih duduk dalam diam.
“Kau juga tidurlah, ini sudah malam.”
Tanpa kata El bangkit. Melangkah beberapa kali hingga sampai di pintu kamarnya. El langsung menggelar kasur lantai dan berbaring di sana. Tidak terlalu nyaman sebenarnya. Tapi mengingat dirinya tidak akan lama di sini, merepotkan kalau harus membawa banyak perabotan. El baru akan memejamkan mata ketika pintu kamarnya di ketuk. Awalnya El akan mengabaikannya, kemungkinan besar itu Radhi atau Ervan. Sampai akhirnya si pengetuk pintu memanggil namanya. Dan El tahu itu bukan Orang yang ada dipikirannya.
“Kenapa?” tanya El begitu membuka pintu.
Noe hampir berteriak jika tidak ingat perempuan di depannya ini El. Salahkan rambut perempuan itu yang menjuntai ke depan. “Lampu depanmu nyalakan. Jangan macam kuburan gelap begini.''
“Gak bisa.”
“Kan tinggal tekan stop kontaknya.”
El mendesah, apa dirinya tampak sebodoh itu. “Mati, lampunya mati.”
“Ya kau ganti lah lampunya. Masa begitu saja tidak ta–“ ucapan Noe berhenti dengan sendirinya. Sadar dirinya yang tidak tahu. “Jangan tutup pintunya.”
Noe segera kembali ke kamarnya. Mengambil dua buah lampu yang memang dibelinya untuk persediaan. Juga sebuah kursi plastik dan membawanya ke kamar El.
“Pegang ini,” ucap Noe sambil menyerahkan dua buah kemasan lampu. Sementara dirinya memosisikan kursi tepat di bawah lampu dan menaikinya. Terlebih dulu melepas lampu mati yang terpasang. Lalu tangannya terarah kepada El, menyerahkan lampu yang sudah tidak berfungsi dan menggantinya. Selesai dengan di luar, Noe beralih ke dalam. Ia menekan stop kontak begitu selesai. Cahaya dari lampu pun langsung menguar dan memberikan penerangan di kamar kecil itu.
“Nah, sekarang sudah hidup lampunya.”
Setelah itu Noe beranjak sambil membawa kursi plastik. Meninggalkan El sendiri, memandangi lampu yang menyala di atas sana. Untuk apa Noe repot-repot melakukan ini? Mengganti lampunya yang mati tidak akan memberikan keuntungan apa-apa untuk Noe. Jadi mengapa Noe mau melakukannya. Belum sempat El menemukan jawaban, pintu kamarnya kembali di ketuk. Dia kembali menemukan Noe di depan pintu kamarnya.
“Ini,” Noe menyerahkan barang ditangannya, yang kemudian diterima El dengan ragu. “Aku lihat di kamarmu tidak ada selimut. Kalau malam dingin, jadi pakailah agar tak masuk angin.”
Pandangan El berganti dari wajah Noe dan selimut. Menyadari itu buru-buru Noe menambahkan. “Kau tak usah khawatir, ini bersih kok. Sudah sana tidur.”
Bukannya menurut, El malah betah memandangi selimut ditangannya. Dia bahkan tidak sadar jika Noe sudah pergi dari hadapannya. Suara pintu yang dibuka berhasil mengalihkan atensi El saat itu. Makanya mengikuti pergerakan Noe yang masuk kemudian masuk ke kamarnya. Dan entah dapat dorongan dari mana, El memanggil Noe yang akan menutup pintu.
Kepala Noe menyembul dari pintu yang sudah tertutup setengah. Wajahnya jelas penasaran karena El memanggilnya. “Kenapa?”
Butuh waktu sekitar lima detik bagi El menjawab singkat. “Makasih.”
Noe tersenyum sebelum membalas dengan kalem. “Sama-sama. Lain kali, kalau butuh bantuan, bisa minta tolong aku atau Dian.”
El mengangguk ragu sebelum menutup pintu. Membaringkan tubuhnya di kasur lantai, El tidak bisa tidur. Cengkeramannya pada selimut begitu kuat. Lalu matanya menatap nyalang pada lampu yang menyala terang. Biasanya El memang tidak pernah menghidupkan lampu saat tidur. Tapi malam itu lampunya terus menyala sampai pagi. El tidur dengan lampu menyala dan pikiran penuh. Memikirkan semua perlakuan Noe. Bagi kebanyakan orang itu mungkin perlakuan normal. Noe layaknya manusia baik yang ingin membantu sesama. Masalahnya, definisi El tentang orang baik sama sekali belum berubah. Dan El tidak mau kalau harus melihat orang baik yang kemudian berubah lagi karena keadaan. Dia sudah lelah menyaksikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elistasi
Romance#ProjectAretha 90-H Noe sangat paham, usaha jelas dibutuhkan untuk mencapai sesuatu dalam hidup. Maka dia terus melakukan segala usaha terbaik, agar mencapai hasil terbaik pula. Usaha yang kini mengantarkan dirinya bisa seperti sekarang, mapan dan h...