10. Suara Dari Masa depan

7 1 0
                                    

***
Dari Masa Depan
***
*****

{Abian}

Sudah tiga bulan gue menunggu dengan harapan yang masih sama. Harapan terbaik untuk perempuan manis yang masih setianya terlelap di sana. Ia yang membawa gue melihat sisi lain dari dunia. Ia yang dengan sederhananya menciptakan kebahagian di hidup gue. Dan gue yang sangat bangganya memiliki perempuan seperfect dia di hidup gue. Dia perempuan yang gue syukuri keberadaannya setelah ibu.

Dia salah satu makhluk tuhan yang sangat gue cintai sampai detik ini.

Semenjak dia berada di sini, hari-hari yang gue lalui terasa hampa. Seharusnya hari ini adalah hari spesial kita berdua. Seharusnya hari ini gue mengajaknya ke tempat istimewa yang seistimewanya dia di hidup gue selama ini.

Setelah gue memutuskan untuk pulang sebentar ke rumah. Gue kembali ke rumah sakit untuk menemaninya. Gue enggak mau ketika dia sadar nanti gue enggak ada di sana. Walaupun dokter selalu memberitahu gue kondisinya dari hari ke hari yang terus menurun, gue selalu optimis dengan harapan gue kalau Asa pasti akan bangun. Pasti dan pasti.

Doa terbaik dari gue enggak pernah putus untuk Asa.

Setibanya di rumah sakit, gue langsung berjalan menuju ruangan di mana Asa dirawat. Dengan pakaian steril gue menemui Asa.

Tersenyum adalah hal pertama yang gue lakukan setiap masuk. Walaupun mustahil Asa melihatnya.

Gue berjalan menghampirinya. Menaruh bucket bunga berukuran kecil kesukaanya di atas meja. Gue memposisikan diri di sampingnya. Wajah yang pucat dan berbagai macam alat medis yang melekat di tubuhnya cukup mengiris hati gue setiap kali melihatnya.

"Gimana mimpinya hari ini? Indah ya?" gue memegang tangannya, dingin kali pertama yang gue rasakan.

"Seindah apapun itu, aku harap kamu enggak akan berjalan terlalu jauh di sana. Keindahan di sini bareng aku itu jauh lebih indah dari mimpi kamu, Sa."

Tidak ada jawaban apalagi reaksi yang Asa berikan setelah gue mengucapkan itu. Hanya ada suara bising dari mesin yang terus menggema di sini. Semua itu sudah terjadi selama tiga bulan.

Lalu, gue meraih bucket bunga di atas meja tadi dan meletakkannya di samping Asa.

"Karena hari ini adalah hari ke lima tahunnya aku sama kamu, jadi, aku bawa bunga kesukaan kamu hari ini. Aku taruh di samping kamu ya."

Kemudian gue mengeluarkan kotak merah kecil dari saku celana, "Aku juga bawa sesuatu yang pasti bakal kamu suka. Dan ini akan aku tunjukkan ke kamu segera."

Jangan buat gue merasakan sakit dan pedih untuk kedua kalinya, Sa. Sudah cukup bagi gue di tinggal perempuan yang berarti di hidup gue. Gue mau itu terjadi lagi. Sebisa dan sekuatnya gue akan mempertahankan kamu.

Lagi... Doa gue enggak terputus untuk kamu.

Dear God, Saya cinta sekali dengan salah satu makhluk-Mu ini. Izinkan saya membahagiakan hidupnya.

Gue membuka kotak merah itu dan meraih benda bulat yang berada di dalamnya. Gue tersenyum membayangkan sebahagia apa Asa menerimanya.

Ingin sekali gue sematkan cincin itu di jari manisnya tapi, gue sadar. Asa belum tentu mengiyakan keinginan terbesar gue. Menunggu jawaban darinya adalah kepastian di atas kepastian yang akan gue wujudkan.

Izinkan gue untuk lebih serius dalam hubungan ini. Selamanya.

***

"Perkembangan Asa seperti yang kita tahu, semakin hari itu semakin menurun, pak. Kalau sampai sebulan ke depan seperti ini terus. Mohon maaf, saya enggak bisa janji Asa akan selamat."

Seuntaian perkataan dokter terus terngiang di pikiran gue. Apalagi yang harus gue lakukan? Usaha apalagi yang harus kerahkan? Sepanjang apalagi doa yang harus gue utarakan?

Gue belum siap untuk semua kemungkinan yang enggak mau gue sebut itu.

Apa usaha gue selama ini kurang? Apa doa gue selama ini kurang panjang?

Gue membantingkan badan ke jok mobil. Dengan mendongak gue mengusap kepala frustasi. Gue bingung. Gue harus apa lagi?

Gue menghidupkan mobil dan pergi dari rumah sakit ini. Gue butuh menenangkan pikiran dan diri gue. Hingga akhirnya gue tiba di tempat jauh dari keramain kota. Tempat yang sunyi dan hanya ada semilir angin yang menerpa.

Gue naik ke atap gedung ini. Gedung yang sudah lama tidak di fungsikan ini menjadi tempat favorit gue dulu saat menyendiri. Sudah lama sekali gue tidak berkunjung ke sini. Terakhir, saat gue kehilangan ibu dan mengetahui kebenaran pahit yang ayah sembunyikan selama delapan belas tahun gue hidup.

Semilir angin menerpa wajah saat pertama kali gue menginjak kaki setelah sekian lama. Lalu, gue berjalan ke undakan di atas sana. Gue duduk di atasnya. Dengan hamparan langit malam yang di temani bulan dan pemandangan kota dari atas yang terlihat sangat menakjubkan untuk di pandang.

Seketika gue teringat Asa yang pada saat itu pertama kalinya ia ke sini. Dengan kerasnya dia teriak mengeluarkan emosinya saat itu. Asa pernah gue bawa ke sini saat dia gagal berkali-kali interview pekerjaan. Di mana waktu itu, keuangannya lagi benar-benar menurun. Kedua adiknya yang masih membutuhkan biaya sekolah dan di tambah dengan menanggung segala kebutuhan hidup dirinya dan kedua adiknya.

Satu hal yang bikin gue takjub. Dia jarang sekali mengeluh dengan keadaan. Beberapa kali gue sempat menawarkan diri untuk ikut membantunya tapi, dengan lembutnya Asa berkata "Tugasmu hanya menemani dan mensupportku. Selebihnya biar aku yang berusaha sekuat dan semampuku."

Itu Asa, ia tidak akan mau menerima sesuatu tanpa usaha. Baginya, mau sebabak belur apa dirinya di hantam kenyataan. Ia hanya butuh satu orang yang benar-benar bisa menjadikan dunianya terlihat indah. Walaupun kelam mengepung saat itu.

Lima tahun mengenalnya dan lima tahun menjalin hubungan bersamanya itu banyak memberi gue pelajaran dan pandangan baru tentang hidup. Cara menikmati hingga cara mensyukuri hidup sekecil apapun sudah Asa sampaikan secara tersirat.

Sedikit banyak gue sudah tahu tentang hidupnya. Asa sempat satu sekolah dengan gue. Bahkan satu kelas. Hingga akhirnya kejadian besar terjadi di sekolah yang di mana waktu itu enggak adil menurut gue. Tapi, dengan legowonya Asa menerima itu semua. Ia lebih memilih mengalah atas apa yang terjadi.

Sangat di sayangkan murid sepintar Asa di perlakukan tidak adil seperti itu.

Dan akhirnya gue bertemu kembali dengannya di tournament nasional taekwondo. Asa sudah berbeda dari sebelumnya. Banyak perubahan yang terjadi di dirinya. Asa seperti hidup kembali dengan dirinya yang baru. Dan kemenangannya di tournament itu dimuat di berbagai media massa hingga sampai masuk beritanya di sekolah gue. Yang bisa gue pastikan saat itu sekolah menyesal telah mengeluarkan Asa dari sekolah.

Dari situ gue semakin dekat dengan Asa, sedikit susah untuk mendekatinya. Asa berbeda dari perempuan kebanyakan yang pernah gue temui. Setelah gue mendapatkannya, gue berkomitmen sama diri gue sendiri untuk enggak akan pernah lepasin dia. Gue akan mempertahankannya selamanya.

Seperti saat ini gue mempertahankannya untuk sembuh.


****






One More Time ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang