18. Puncak emosi

10 2 0
                                    



******
***
{Asa (Remaja}
***
******

Setelah beberapa hari aku Absen dari sekolah, akhirnya aku kembali masuk sekolah hari ini. Ku pastikan tidak ada yang tahu Ibuku meninggal. Yang tahu hanya wali kelasku saja. Itupun kalau beliau ingat dengan surat izinku.

Aku berjalan dengan pikiran yang entah ke mana. Aku sama sekali tidak bersemangat hari ini. Aku menyusuri koridor pun mendapat tatapan aneh dari para siswa. Mungkin mereka merasa aneh dengan penampilanku. Rambut yang biasanya aku ikat, kini aku biarkan terurai sampai bahu. Wajahku yang biasanya ku pasang topeng kebohongan seolah aku baik-baik saja, kini ku lepas. Aku datang dengan raut datar dan lingkaran hitam di bawah bola mataku.

Pagi ini aku benar-benar sangat kusut. Aku menghiraukan tatapan mereka sepanjang koridor. Sampai akhirnya aku tiba di kelasku. Tanpa banyak bicara, aku langsung duduk di bangku paling belakang. Lebih tepatnya samping Abian.

Aku meletakkan tasku di atas meja. Seketika Abian yang semulanya tertidur langsung terbangun mendengar suara yang di timbulkan oleh sikapku tadi. Ia menatapku aneh seperti para siswa yang di koridor tadi.

"Lo baik-baik aja kan? Kusut bener," seketika aku memberinya tatapan tajam seperti ingin menerkam mangsa.

"O-oke... Gue diem."

Aku lalu menidurkan kepalaku di lipatan tangan di atas meja. Dan beberapa menit kemudian bel masuk pun berbunyi.

***

L

agi-lagi aku harus mencatat materi yang di depan ke buku tulisku. Semenjak duduk di paling belakang, aku selalu tertinggal bila mencatat. Karena jarak yang cukup jauh dan sering terhalang. Alhasil aku telat atau menunggu semuanya selesai.

Brak!!

Suara dari gebrakan di mejaku mengalihkan pandanganku ke sumber penyebabnya. Ternyata itu Lia dengan senyum sinisnya. Lalu, Ia meletakkan buku di mejaku.

"Tulisin catatan gue dong, tangan gue pegel," aku tidak menghiraukan ucapannya. Aku lanjut menulis kembali.

"Lo enggak mau? Udah berani sama gue?" ancamnya. Aku masih tidak mengindahkan suaranya. Aku bersikap seolah tidak ada orang di sampingku.

Dan aku terhentak seketika saat Lia mengangkat kerah baju seragamku. Leherku tercekik nafasku tersendat. Aku ikut berdiri ketika Lia menarik kerah seragamku.

Dengan mata melotot Lia menatapku, "Jangan sampai gue marah sama lo. Jangan sampai buat yang macam-macam sama lo."

Kemudian Lia menghempaskan kan seketika. Aku  merasa lega dan berusaha mengatur nafas.

"Cepet! Tulisin catatan gue," sentak Lia.

"Punya tangan kan? Enggak buntung kan tangan lo?"

"Lo ngelawan sama gue?"

Lia mendekatkan wajahnya dan berbisik di telingaku, "Tunggu apa yang akan gue lakuin untuk lo"

Lia menepuk tangannya ke atas, "Guys....," seketika semua siswa yang berada di kelas dan di luar memperhatikan Lia.

"Kalian mau tau enggak, beberapa hari kemarin Asa enggak masuk sekolah?"

Semua siswa saling berbisik satu sama lain. Lia tersenyum miring melihatnya. Matanya melirik ke arahku.

One More Time ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang