Minggu, November 2011
Semalaman aku sama sekali tak bisa memejamkan mata, sampai fajar tiba dan langit mulai berwarna agak kemerahan. Aku hanya berguling-guling diatas tempat tidur, sesekali bangkit dan membuat segelas kopi, merokok, berjalan mondar-mandir, terus berulang-ulang sampai pagi menyingsing. Sampai saat inipun sebatang sigaret masih terselip dijariku, aku menghisapnya sambil menatap langit-langit kamar, mencoba untuk menguatkan hati dan perasaanku yang mulai longsor.
Tak memejamkan mata semalaman membuat kepalaku berkunang-kunang, aku terduduk dipinggiran tempat tidur, perut mual karena kebanyakan minum kopi dan menghabiskan dua belas batang sigaret hanya dalam waktu empat jam. Sepertinya aku sedang mengalami Depresi berat, untung saja aku tak berniat untuk mengakhiri hidupku sendiri. Aku bangkit menuju kamar mandi, air dingin mungkin akan membuat pikiranku menjadi agak normal.
***
Setelah selesai membereskan kamar dan semua barang bawaanku, aku duduk di teras rumah Bu Nunung, kulihat beliau sedang membersihkan halaman. Aku melihat jam di ponselku.
"Sudah jam tujuh ternyata."
Aku bangkit dari duduk, mengunci pintu mantan kamarku, dan menyerahkan kuncinya ke Bu Nunung.
"Bu saya pamit pulang, ini kunci kamarnya. Barangkali saya punya salah, sering ngerepotin ibu, saya minta maaf ya bu."
"Iya sama-sama kasep, hati-hati yah dijalan. Oh iya kalau sempet sering-sering yah main kesini."
"Iya bu, Ridwan dimana yah bu?"
"Dia nggak pulang seep, katanya nginep di rumah temenya."
"Oh gitu, yaudah bu saya pamit. Salam bu buat Ridwan." Aku meraih tangan Bu Nunung lalu menciumnya.
Bu Nunung mengantarku sampai di depan pintu pagar rumahnya. Aku kembali berpamitan, dan mulai melangkahkan kakiku menyusuri jalan. Tujuanku sekarang adalah, kosan Ai. Setelah memikirkanya semalaman aku memutuskan untuk mencurahkan segala perasaanku terhadapnya. Ya, aku akan mengungkapkan pada pagi hari ini, di ujung perpisahan yang tak mungkin terelakan.
Aku mengetuk pintu kosanya, namun sepi yang menyapa, aku mengetuknya sekali lagi, Tetap tak ada jawaban. Kucoba mengetuknya sekali lagi, namun tetap sama, tak ada jawaban.
"Nyari Ai yah mas?"
Aku sedikit terkejut tiba-tiba saja seorang ibu yang memang tinggal disamping kosan Ai muncul dari balik tembok pembatas kosan.
"Eh.. iya bu, tapi kok sepi yah?"
"Barusan Ai nitipin kunci ke ibu, sekalian pamit, belum lama sih sekitar sepuluh menit yang lalu."
"Oh.. yaudah makasih ya bu."
Aku bergegas meninggalkan halaman kosan, berjalan menuju jalan raya. Mungkin belum jauh, dan kenapa sih Ai bisa begitu tega pulang tanpa pamit. Loh memang kamu siapanya? Dadaku langsung terasa sesak seperti habis tertimpa seekor Badak Jawa.
Triit.. triit..
"Dit, aku tunggu di warungnya Mak Sum."
Ai sms, aku langsung bergerak cepat mengerahkan semua ilmu meringankan tubuh miliku, agar cepat sampai di tujuan.
Setelah sampai di warung, mataku nyalang memandangi semua sudut warung, namun tak kutemukan sosok perempuan itu, perempuan yang selalu terlihat walau mataku terpejam."Mas Ditra yah?" Ibu penjaga warung menghampiriku.
"Iya betul bu."
"Ini ada titipan surat, dari Ai." Bu warung mengulurkan tangan yang memegang amplop berwarna merah, seperti amplop undangan pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Tak Tersampaikan - kisah romansa generasi Y
RomantizmIni hanya tentang ingatan yang mengingat segala kenangan.