4

24.7K 3.2K 1K
                                    

Tidak ada berkas lain selain cemas yang menghampiri raut mukanya. Dalam lubuk hati berkata bahwa dirinya memang orang awam yang tak tahu apapun perihal satu hal yang mungkin saja bisa merenggut nyawa seseorang. Entah lengah atau teledor, terlambat sedikit saja mungkin makhluk mungil itu kini sudah berada dalam pembaringan yang akan mengantarnya dalam gelapnya pusara.

Sejahat-jahatnya Jaehyun, dia bahkan tak ada niat untuk membunuh orang lain hanya karena alasan tak berdasar. Jika tubirnya berkata benci, tidak ada yang tahu perihal hati dan perasaannya. Dia terlalu munafik untuk jujur, namun juga naif untuk menolak. Jika sikap dingin dan kasar telah mendarah daging dalam dirinya, maka jangan salah jika dirinya mengeluarkan sisi kemanusiaan yang mampu membuat hati berdebar. Perangainya yang tak mampu ditebak, membuat orang-orang enggan berurusan dengan spesies macam dirinya.

Namun kini, dengan balutan pakaian yang masih sama dengan beberapa jam lalu. Pria itu terduduk sendirian dikursi tunggu rumah sakit dengan tangan memijat pangkal hidung. Kemeja putih yang dipakai sebagai dalaman, ternodai dengan bercak merah dari seseorang didalam sana.

Jika awalnya ia memaksa Renjun untuk minum, katakanlah begitu. Maka diwaktu yang akan datang dirinya akan melarang dengan keras pasangannya itu untuk menyentuh barang sedikitpun minuman beralkohol. Bukan apa, bukankah itu akan merepotkan jika terulang lagi?

Saat derit pintu kokoh dihadapannya terbuka, seorang dokter berpakaian serba putih keluar. Penampilan yang nampak gagah, namun tak segagah raut wajah yang menampilkan raut lelah dengan kasar. Rentetan penjelasan membuatnya tahu apa yang sudah terjadi. Sebuah alergi yang membuat seseorang dengan cepat menampilkan gejalanya, dari ringan hingga berat. Sedikit bernafas lega saat Renjun masih bisa membuka matanya didalam sana.

Setelah dokter pria dengan usia pertengahan 40 itu pergi, Jaehyun melihat beberapa perawat yang keluar membawa ranjang dengan Renjun diatasnya menuju ruang rawat. Kelopak mata itu tengah terpejam dengan masker oksigen menutupi mulut hingga pangkal hidungnya. Infus menancap tepat dipergelangan tangan kiri. Ngilu saat membayangkan beberapa saat lalu dimana Jaehyun menemukannya didalam bilik kamar mandi dengan keadaan lemah. Awalnya ia hanya penasaran dengan apa yang dilakukan Renjun hingga memakan waktu selama itu di toilet. Ia berjanji akan menertawakan lelaki itu jika Renjun benar-benar muntah hanya karena dua teguk bir. Niatnya terurung saat tak mendapat respon dari Renjun.

"Tuan bisa masuk," ujar salah satu dari mereka. Jaehyun tak sadar jika dirinya sudah berdiri didepan sebuah ruangan tertutup.

"Terimakasih," balasnya dengan anggukan.

Meninggalkan keterdiamannya dengan melangkah ke dalam dengan tenang. Menatap wajah pucat itu pandangan datar khasnya. Sedikit tidak nyaman melihat kelopak mata itu belum terbuka. Ia hanya perlu memastikan bahwa Renjun mampu kembali membuka matanya dengan baik.

Hingga mata itu terbuka, Jaehyun masih setia menatapnya dengan tangan bersemayam didepan dada.

"Ah, aku masih hidup." Entah itu sebuah pernyataan atau pertanyaan. Sama saja. Kalimat yang tidak pantas didengar oleh orang waras sepertinya. Suara serak Renjun kembali mengalun, "terimakasih, Tuan."

"Merepotkan," sarkas Jaehyun. Pandangannya berubah dingin seiring suasana hatinya yang mendingin melihat raut kecewa dan putus asa dalam kedua bola mata Renjun.

Renjun membuka masker oksigennya dengan susah payah. Sedangkan Jaehyun hanya menatapnya tanpa minat. "Seharusnya kau biarkan aku meregang nyawa didalam toilet itu," katanya. Wajahnya berpaling melihat rahang pria itu mengeras. Tak peduli jika Jaehyun akan menumpahkan amarahnya sekarang juga.

"Omong kosong!" Sentak pria itu.

"Bukankah itu yang kau harapkan setelah aku menenggak minuman yang kau berikan? Bahkan dari tawamu dengan kekasihmu itu, aku bisa jamin kalau kau bahagia jika aku tak ada. Salah jika aku berharap Tuhan mengambil nyawaku saat itu juga?"

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang