9

25.2K 2.7K 442
                                    

Gelapnya malam tidak menghentikan langkah kaki mereka. Menjaja setiap pedagang yang berjejer rapi, matanya berpendar ke sana kemari. Terutama bocah lelaki yang tidak hentinya berceloteh ini dan itu. Membicarakan segala macam hal yang dilihatnya kepada orang tuanya.

Tidak menolak saat anak itu meminta makanan yang di inginkannya. Sebab malam ini, Jaehyun maupun Renjun membebaskan Jeno untuk memilih. Anak itu dengan antusias melakoninya. Festival yang digelar dipusat kota tampak ramai, namun tidak seramai tahun-tahun sebelumnya.

"Daddy mau itu," tunjuk si kecil pada penjual gelang. "Mau itu!" Ditariknya lengan besar sang ayah dengan kedua tangan kecilnya. Walau nyatanya hanya satu jari Jaehyun yang pas dalam genggamannya mungilnya. Renjun hanya tersenyum melihat itu, rengekan Jeno belum usai saat Jaehyun hanya menanggapinya dengan gumaman saja.

Tiga manusia berbeda usia itu berjalan pada stan yang dimaksud Jeno. Bocah itu berjingkrak kesenangan saat telah sampai. Memilih benda yang menurutnya menarik perhatian. Jaehyun tak terlalu memperhatikan saat anaknya kembali berbicara. Renjun berjongkok dihadapan Jeno saat anak itu menyodorkan satu gelang berwarna grey dengan aksen putih ditengahnya.

Mereka kembali melanjutkan langkah. Beberapa kali berhenti untuk sekedar membeli makanan, itupun hanya Renjun dan Jeno. Jaehyun hanya memperhatikan.

"Mommy," panggil anak yang dituntunnya. Renjun menunduk untuk melihat Jeno.

"Ya?"

"Terimakasih," anak itu tersenyum begitu manis hingga matanya tenggelam. Begitu menggemaskan saat eye smile itu terbentuk. Rambut berponi Jeno sedikit bergoyang saat terkena angin malam. Tubuh kecilnya sedikit tenggelam dengan pakaian hangat yang dipakainya.

"Untuk apa?" Heran Renjun.

"Untuk semuanya. Mommy baik padaku, sama dengan Mommy-ku," balas Jeno.

"Sebentar." Renjun menoleh mendengar suara itu. Jaehyun telah menepi dan duduk disalah satu kursi panjang taman. Lantas kembali melirik Jeno saat dirasa tak ada yang menggenggam tangannya lagi. Renjun mengejar anak itu, untuk kemudian ia raih tangannya.

"Kenapa?" Tanya Renjun saat telah mendudukkan Jeno disamping ayahnya. Ia berdiri didepan suaminya, mengamati wajah pucat itu. "Kau sakit?" Ia menarik kepala Jaehyun untuk kemudian ia peluk pelan. Rambut sehitam jelaga itu begitu lebat dan lembut untuk diusap.

"Gerah," lirih pria itu. Sang submisif tergerak untuk membantu melepaskan jas kerja yang masih menempel ditubuh atletis itu. "Badanmu panas," ujar Renjun. Ia membiarkan Jaehyun bersandar diperutnya. Sementara matanya sendiri sesekali memperhatikan Jeno, jikalau mendadak anak itu berlari dan menghilang. Namun beruntung, bocah tampan itu begitu penurut.

"Aku mual," ucap pria Jung itu.

"Hei, mau muntah? Tunggu sebentar."

Jaehyun menggeleng saat Renjun hendak pergi. Pria itu melingkarkan lengannya di pinggang sempit itu. "Tidak perlu, mualnya tidak terlalu," katanya.

"Aku bilang juga apa? Pagi tadi harusnya kau makan sebelum berangkat ke kantor. Dasar bebal, asam lambungmu pasti naik," cerca Renjun. Namun tak urung tangannya mengusap tengkuk Jaehyun lembut. "Telingamu ini berfungsi atau tidak? Kau tidak mendengarkanku." Sasaran selanjutnya adalah telinga pria itu yang terasa dingin.

"Maaf."

"Jangan terlalu gila kerja, Jae. Waktunya istirahat, ya istirahat. Jika lapar luangkan sedikit waktu untuk makan. Sekarang bagaimana? Kau juga kan yang sakit?" Si cerewet ini mulai kembali, bagaimana nada bicaranya seperti ibu yang sedang memarahi anaknya. "Belajar memforsir dirimu, kau bukan robot yang bisa bekerja tanpa memperhitungkan waktu."

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang