Elegi; Jeno

16.2K 1.7K 176
                                    

Jeno memang bukanlah anak yang bisa terus menerus menuruti perkataan orang tuanya. Dia bukanlah sosok polos dan penurut seperti beberapa tahun silam. Dia berubah, baik dari segi bentuk fisik maupun sifatnya.

Kadang, jalan pikirannya susah ditebak. Emosinya tidak lagi dapat dikendalikan hanya dengan tawaran sederhana dari ayah maupun ibunya. Petuah yang sering didengarnya seringkali hanya dianggap angin lalu olehnya.

Tidak ada lagi anak kecil yang memanggil dirinya 'Nono'. Tidak ada lagi anak kecil yang menangis tersedu sebab giginya yang sakit. Tidak ada lagi si kecil yang pandai mengekspresikan diri dengan berbagai celoteh menggemaskannya. Rupanya tetap sama, hanya berbeda aura yang kini lebih dominan. Senyum bulan sabitnya tak sesering dulu untuk diumbar. Sorot matanya tak ayal selalu memandang tajam apapun dan siapapun.

Amarah ayahnya bukan lagi ancaman menakutkan untuknya. Bukan berarti tidak takut, hanya sekarang berbeda. Anak kecil yang akan menangis saat ditatap tajam oleh ayahnya sekarang tidak ada lagi. Jeno tumbuh dengan baik, kasih sayang dilimpahkan dua orang yang sudah merawatnya sedari kecil. Namun hal itu sering kali disalah artikan.

"Apa mereka hanya kasihan?"

"Aku hanya anak yang tidak pernah diharapkan."

"Bahkan oleh ayahku."

"Daddy tidak pernah benar-benar mencintai ibu kandungku."

Masih banyak lagi hal-hal yang baru ia sadari sekarang. Usianya sudah memasuki usia remaja. Delapan belas tahun tidak lagi bisa disebut sebagai usia anak-anak. Wawasannya sudah lebih luas. Hal kecil yang dulu tidak dimengerti, kini perlahan diserap habis oleh otaknya.

Baik buruk sifatnya sekarang, Jeno tetaplah seorang anak untuk orang tuanya. Ia tetap bergantung atas kehidupannya pada mereka. Bahunya sudah terbentuk tegap, namun belum cukup kokoh untuk menopang hidupnya sendiri.

Bibirnya terhitung sering membuat ayah atau ibunya jengkel. Kelakuan nakal yang banyak diketahui orang cukup membuat Jaehyun maupun Renjun mengelus dada. Tapi dibalik semua itu, Jeno adalah Jeno. Anak kecil yang dulu sering menangis sendirian ditengah malam, terbawa hingga kini. Menyimpan banyak perasaan mengganjal sendirian. Terlalu awam untuknya bercerita pada orang lain.

"Jung Jeno," panggil suara bariton itu menyadarkan keterdiamannya yang terjadi sejak beberapa menit lalu.

Jaehyun duduk diseberang sana dengan Renjun yang juga duduk disampingnya. Ia tak peduli, karena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tatapan marah sepasang mata ayahnya itu mengarah tepat padanya saat dengan lantang ia menatap ayahnya. Keduanya saling melempar pandang beberapa detik.

"Daddy tidak mengerti lagi harus bagaimana membicarakan ini denganmu. Kenapa, Jeno?" Ucap Jaehyun perlahan melunak. "Daddy tidak akan mempermasalahkan jika kau merusak barang semahal apapun. Tapi apakah harus kau melampiaskan amarah pada orang lain? Daddy tidak mendidikmu harus selalu melampiaskan amarah dengan menyakiti orang lain."

"Daddy tidak mengerti," balasnya. Lantas memalingkan tatapannya ke arah lain. Dadanya bergemuruh merasakan marah dan sesak disaat bersamaan.

"Apa yang tidak Daddy mengerti?"

"Banyak."

"Tapi tidak begini caranya, Jeno! Masih bagus kau tidak di drop out dari sekolah. Cerita jika ada masalah, Daddy masih berdiri tegap untuk siapa? Untukmu, untuk ibumu, untuk adikmu!" Jaehyun menekan giginya guna menetralisir perasaan campur aduk miliknya.

Pemuda itu memandang ayahnya untuk kedua kali. Mengepalkan tangan diatas paha seraya menggeram tak terima. "Sungchan memukul temannya, Daddy tidak memarahinya. Lalu kenapa sekarang Daddy marah padaku?" Cercanya dengan nada meninggi.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang