15

23K 2.1K 79
                                    

Denting jam mengisi hening didalam ruangan yang berisi tiga orang itu. Dua diantaranya terbaring diatas ranjang rumah sakit dan satu lainnya duduk disofa yang tak jauh dari sana. Memperhatikan wajah pucat dua orang berharganya yang kini terlihat lemah.

Dua jam lalu, Jaehyun membawa Renjun ke rumah sakit tempat dimana Jeno dirawat. Renjun mengeluh kram diperutnya serta pusing. Istrinya itu tidak sadarkan diri sejak satu jam lalu setelah dokter memberikan obat tidur pada cairan infusnya. Tidak ada hal serius yang terjadi. Renjun terlalu banyak pikiran hingga berefek pada kandungannya.

Jaehyun berjalan menghampiri istrinya, duduk dikursi samping ranjang. Tangannya meraih tangan yang lebih kecil, menggenggamnya dengan hangat. "Kau harus bangun," ucapnya sebelum mencium tangan dingin Renjun. Ia menatap perut buncit istrinya dengan tatapan teduh. Mengusapnya perlahan, seolah itu adalah hal yang akan hancur jika ia terlalu kasar berlaku.

"Sayang, jangan terlalu sering membuat ibumu kesakitan," tuturnya mengecup dua kali perut Renjun.

"Jeno, bagaimana?" Suara serak itu membuatnya menoleh. Menatap wajah Renjun dengan kelopak mata yang sudah terbuka.

"Kami sedang berusaha mencari pendonor untuknya," jawab Jaehyun.

"Sudah separah itu?" Renjun melirik ranjang disampingnya. Melihat bagaimana tubuh kecil Jeno dipasangi beberapa alat sebagai bentuk penopang hidupnya. "Maaf, seharusnya aku tidak merepotkanmu. Kau pasti lelah mengurusku dan Jeno bersamaan," sesalnya kembali menatap Jaehyun.

"Hei, jangan bicara begitu. Kalian memang tanggung jawabku kan? Aku tidak keberatan untuk itu," bantah Jaehyun.

"Peluk," rengek Renjun. Ia merentangkan kedua tangannya untuk kemudian disambut hangat oleh pelukan suaminya. Jaehyun menaiki ranjang dengan hati-hati. Berbaring disamping Renjun yang kini membalikkan tubuh ke arahnya.

"Kenapa, hm?" Renjun menggeleng mendengar itu. "Apa yang mengganggumu tadi? Apa aku membuat kesalahan hingga kau pergi dengan keadaan kacau begitu?"

"Kau akan meninggalkanku bukan? Kau akan menikah lagi, Jaehyun." Isak tangis kembali terdengar saat Renjun selesai berujar. Ia bersembunyi dalam dekapan hangat Jaehyun. "Kau berbohong. Kau bilang tidak akan pergi, tapi kau sendiri yang bilang pada wanita itu kau akan menikahinya. Kau gila? Bagaimana denganku? Bagaimana dengan Jeno? Lalu bagaimana dengan anak kita? Kau tega melakukan itu?"

Jaehyun tersenyum mendengar itu. Sedikit beban yang sejak tadi dirasakannya terangkat saat Renjun mengeluarkan isi hatinya. Tidak apa jika istrinya itu menangis, asal masih ada dalam jangkauannya. "Sudah bicaranya?" Tanya.

Renjun memukul tubuh Jaehyun. "Bajingan!"

"Mulutmu, Sayang." Ia menangkup wajah kecil Renjun, lalu menyentil bibir kemerahan itu dengan tangannya. "Berhenti bicara kasar, anak-anak akan mendengarnya," tambahnya.

Jaehyun memandang teduh pada objek manis didepannya. Mengusap pinggang sang submisif saat Renjun memintanya. "Kau pegal?"

"Hm." Renjun menjawab sekenanya. Netranya masih fokus menatap bagaimana Jaehyun menatapnya. Mereka melempar pandang dengan hati-hati.

"Dengarkan ini, Renjun." Jaehyun membenahkan poni Renjun saat dirasa menghalangi pandangan. "Aku sudah berkali-kali bicara, aku tidak akan meninggalkanmu. Kau, Jeno dan dia," usapnya pada perut istrinya. "Adalah sumber kehidupanku. Kau tahu seberapa frustasinya aku saat kau bilang kau akan pergi? Aku bisa gila, Renjun."

Renjun mengangguk membenarkan ucapan itu. "Maka aku akan mendoakanmu gila jika kau berani menikah lagi! Jika perlu, aku akan menebas punyamu itu!"

"Ah aku takut," ledek Jaehyun.

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang