16

20.4K 2.1K 336
                                    

Pukul 10 pagi, Renjun duduk dengan gelisah diruang tengah. Jeno sibuk bermain dengan mainannya diatas karpet bulu dekat dengan kakinya. Sesekali Renjun melirik televisi dengan gelisah. Hatinya benar-benar tidak tenang.

Jemarinya saling tertaut, mencengkram baju yang dipakainya tanpa ampun. Ingin menangis, namun tidak bisa.

"Mom, where is Daddy?" Tanya Jeno tiba-tiba. "Nono tidak melihatnya sejak bangun tidur," ucap anak itu lagi memandang ibunya.

Renjun melempar senyum lembut. "Daddy sedang pergi, sebentar. Kita tunggu disini, ya?" Katanya berusaha untuk mengentikan rasa penasaran Jeno. Juga, ia berusaha menenangkan hatinya.

"Ini kan hari libur, Daddy selalu ada dirumah," lirih Jeno lagi.

"Katanya, Daddy sedang ada sedikit urusan. Tidak lama, sebentar lagi juga pulang. Tadi, Daddy pergi saat Nono masih tidur, jadi tidak sempat pamit." Renjun mengusap puncak kepala anak itu saat Jeno berdiri didepannya.

Rambut dengan gaya poni itu bergerak lucu saat kepalanya mengangguk. Jeno kembali ke tempatnya, bermain tanpa merepotkan ibunya.

Renjun melirik ponselnya yang tergeletak begitu saja diatas meja. Menanti kabar yang sudah dijanjikan suaminya beberapa jam lalu. Sedangkan televisi didepan sana menampilkan siaran langsung dari tempat dilangsungkannya pernikahan dua orang keturunan konglomerat Korea Selatan. Ya, pengantin prianya adalah Jung Jaehyun. Puluhan wartawan memenuhi bagian luar gedung, sementara didalam ruangan nampak tempat yang sudah siap untuk menampung dua janji calon pasangan itu.

Hatinya menjerit tidak rela. Bukan berarti ia mengijinkan suaminya menikahi wanita itu.

"Aku janji, akan pulang dengan status yang sama. Aku masih berstatus sebagai suamimu, bukan suami wanita itu. Tunggu aku, jaga diri baik-baik."

Sekiranya itu janji yang ia pegang kuat-kuat sejak berjam-jam lalu. Pandangan sendunya terarah pada perut buncitnya. Ia takut, sungguh. Renjun tidak sekuat itu untuk berdiri sendiri, butuh seseorang untuk menopang setiap langkah yang diambilnya.

"Mom?"

"Ya?"

"Kemarin Nono menemani Lele yang sedang belajar berjalan. Dia menggemaskan sekali, tapi galak!" Cerita anak yang sebentar lagi menjadi kakak itu.

"Galak bagaimana?" Tanya Renjun bingung. Berusaha menyingkirkan sejenak perasaan gundahnya. Ia memusatkan perhatiannya pada anak yang kini menatapnya seraya memegang action figure milik ayahnya itu.

"Lele sering cubit Nono, harusnya kan Nono yang cubit Lele. Suaranya juga berisik, mirip ibunya," tutur si kecil. "Nono tidak mau adik seperti Lele."

"Lalu Nono maunya yang bagaimana?"

"Nono maunya Lele menjadi kekasih Nono," ucapnya sembari memamerkan gigi susu yang tumbuh dengan rapi.

Renjun mengerjap bingung. "Hei, Nono masih kecil. Dari mana belajar bicara begitu?"

Anak itu bangkit menghampiri ibunya yang masih dalam posisi duduknya. Lalu duduk diatas kedua punggung kaki Renjun dengan tangan memeluk kaki jenjang ibunya. Senyumnya masih tidak luntur, manis juga tampan. Kedua bola matanya tertutup seiring dengan senyumnya mengembang.

"Nono mendengar dari Bibi penjaga mini market dibawah. Katanya Lele itu manis, jadi Nono mau kekasih yang seperti Lele."

Renjun mengelus dadanya, lalu mengangkat Jeno pada pangkuannya. Mendudukkan anak itu dengan benar dan menghadap dirinya. "Jangan dulu memikirkan itu, ya? Nono masih kecil. Nanti kalau sudah besar, saat Nono sudah mengerti yang benar dan salah, Daddy ataupun Mommy tidak akan melarang. Sekarang, Nono belajar dulu yang benar, jangan nakal, jaga Lele kalau Nono memang sayang padanya. Jangan lupa, Nono juga akan menjadi kakak sebentar lagi. Nono harus menjadi contoh yang baik untuk adiknya, ya sayang?"

DESTINY | JaeRenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang